Saturday, May 19, 2007

Ketabahan Sang Pemimpin

Karena nama besarnya berkembang dan telah melekat dihati Masyarakat dan Pejabat, banyak oknum tak bertanggungjawab meneror Pimpinan Sanggar ini. Bahkan tak sekedar lewat SMS, tak sedikit beberapa teror itu berujut santet, teluh dan sejenisnya, juga dari yang nyata sampai yang tanpa nyata. Namun semua ini tak membuat goyah Sanggar Supranatural Songgo Buwono Yogyakarta tersebut. Lebih-lebih Pimpinannya yang memiliki Ilmu yang Mumpuni.

Beberapa kali dan bahkan tidak terhitung di Majalah-majalah maupun disurat kabar Koran maupun Tabloid Nama Sanggar Supranatural Songgo Buwono Yogyakarta menghiasi dan memuat sepak terjang dan kegiatan Sanggar dipimpin langsung oleh Pimpinan Songgo Buwono yaitu Bunda Lia Hermin Putri
(37 Thn) yang didampingi 50 lebih siswa inti serta telah memiliki ribuan anggota yang tersebar diseluruh pelosok Nusantara. Tidak mengherankan, jika tamu yang dating di Sanggar maupun rumah tinggal pimpinan tiap harinya tak kurang dari 50 orang tamu yang dating minta berkah dan restu beliau. Mereka yang dating berbagai keperluan ini, tak sebatas rakyat biasa, namun tak sedikit yang datang dari kalangan pengusaha dan pejabat “ saya tidak pernah membedakan tamu yang datang membutuhkan pertolongandari saya” tutur Pimpinan Songgo Buwono Bunda Lia, bahkan tidak sedikit tamunya yang datang dari luar pulau Jawa. Menurut penuturan Bunda Lia para tamu yang datang inipun mempunyai keluhan yang variatif, dari penyakit ringan sampai berat, lever, kanker, stress, kena sihir, guna-guna, gangguan jiwa serius, urusan rumah tangga, pekerjaan dan lain-lain dengan syarat pasien harus datang. Membuka Aura anak yang kurang cerdas menerima pelajaran, aura pria-wanita yang kurang Percaya diri hanya membutuhkan waktu 24 jam. “ Asal pasien percaya, karena saya hanyalah sebagai perantara segala sesuatu kita serahkan pada YME, jadi jangan agungkan saya karena keberhasilan penyembuhan saya “ ujar Bunda Lia.

Kegiatan Songgo Buwono dibidang Sosial dan melanglang buwana, dari desa kedesa dari kota satu ke kota lainya hanyalah bersifat sosial. Dalam gelar bakti sosial yang benar-benar spektakuler, Bunda Lia yang dibantu 30 orang siswa intinya sering menggelar bakti sosial didaerah dalam kegiatan penyembuhan alternatif tanpa dipungut biaya satu rupiahpun, tak kurang dari ribuan pasien yang ditangani dalam waktu 3 hari didesa. Keluhan pasien yang rata-rata berpenyakit aneh itu, juga variatif, ada yang jantung, tumor, kanker serta berbagai macam penyakit lainnya. Walau penyakit warga atau masyarakat kurang mampu rata-rata tergolong berat, dengan hadirnya Keluarga besar Songgo Buwono didesa mayoritas dapat diatasi 90 % dapat disembuhkan.
Selain penyembuhan alternatif juga menyantuni anak yatim dan anak yang kurang mampu untuk dunia pendidikan, juga membantu peralatan sekolah yang kurang. Tidak heran ada ucapan dari salah satu pasien “ jebule wonten donya niki taksih wonten tiang ingkang luhur budinipun, lha tiang sak manten katahe sedoyo mboten mbayar. Menawi dateng dokter sampun pinten mawon mbayare, sampun gratiskok mantun penyakite,” ketika Bunda Lia sebagai Pimpinan Songgo Buwono di konfirmasi selaku penanggung jawab I mengatakan jika apa yang dilakukan hanyalah kepeduliannya sebagai manusia biasa untuk menolong sesama hamba Tuhan “ Saya manusia, mereka juga manusia, di hadapan Allah SWT semua manusia sama, Allah tidak memandang drajat serta pangkat mungkin hanya nasib saja yang membedakan kita. Karena itu apa salahnya kita hidup saling menolong sesama. Apa lagi mereka rata-rata hidup digaris kemiskinan dan kurang mampu berobat ke dokter,” ujar pimpinan Songgo Buwono Yogyakarta Bunda Lia.
“ Kegiatan kami murni bakti sosial untuk menolong sesame. Tidak ada unsur lain, kalau ada yang bilang kami didanai oleh Calon Kepala Daerah atau Partai yang ingin jadi Presiden agar mendapat simpati, itu adalah bohong besar. Kami orang Supranatural bukan Politik atau Partai” tandas Bunda Lia.

Selain bakti sosial pengobatan, Bunda Lia juga telah mengingatkan pada masyarakat tentang pasca bencana. Kita mengingat saat Gunung Merapi aktif Bunda Lia beserta anggota intinya naik ke Merapi di antar mbah Marijan. Dan juga issue tsunami pun Bunda Lia menggelar Do’a bersama dan Ritual Akbar bersama beberapa tokoh Agama, Budayawan, Pemuka Adat dan Pemerintah Daerah maupun Pusat. Alhamdulillah berhasil dan sukses. Juga peringatanya disaat akan ada guncangan angin juga terbukti. Maka dengan rasa kasihnya terhadap Rakyat – Masyarakat dan Bumi Pertiwi ini tampak sekali kekawatiran diwajah Pimpinan Songgo Buwono Bunda Lia Hermin Putri melihat adanya gejolak alam ini, kita sedang dihadapi gejolak dari Laut. Mari kita sedikit berbincang dengan bunda Lia tentang Fenomena alam yang kita hadapi.
Tanya ; “Apa komentar Bunda Lia tentang gejolaknya laut dimana-mana?
“ Memang sulit dilupakan bencana-bencana yang beruntun menghujam negeri ini, baik bencana alam atau human error. Tsunami - banjir banding air telah bicara, tanah longsor - gempa bumi tanah dan bumipun turut bicara, punting beliung anginpun juga bicara, semburan gas Lapindo Brantas yang sampai sekarang belum teratasi gaspun tidak kalah juga berbicara, belum berhenti kekwatiran kita timbul lagi meluapnya air laut dimana-mana. Semua ini sangat membuat kita keluarga besar Songgo Buwono prihatin, dan sesuatu yang menjadi pelajaran bagi kita semua. Goro – goro akan hadir, inilah awal goro -goro. Bahwa kita harus sadar dan mulai berbenah diri, dengan jalan mengingat kalimat Sangkan Paraning Dumadhi,asal kita dari mana mau apa dan hendak kemana.
Dengan latar belakang ini saya atas nama Keluarga Besar Songgo Buwono mengajak untuk menyucikan diri kita dengan jalan Reformasi Nurani dan mengembalikan Naluri Budaya Nenek Moyang kita yang sudah tidak kita miliki.
Karena menurut hemat kami, Reformasi Nurani-lah kunci penundaan segala macam bencana. Karena kalau kita berbuat sesuatu kalau kita tau sebab dan akibat tidak akan mendapatkan kerugian. Karena manusia telah lupa akn jati dirinya. Hati Nurani telah terkikis dimuka bumi ini. Menghalalkan segala macam cara untuk kepentingan pribadi sesaat. Keseimbangan hati dan dan akal tidak lagi dihiraukan inilah yang menyebabkan awal suatu bencana. Namun harapan akan menjadi sia –sia mana kala kita tidak berbuat dan berupaya mengantisipasi, atau paling tidak menunda datangnya petaka/bencana. Banyak hal yang akan kita lakukan, namun titik tumpu utamanya adalah Reformasi Nurani kita harus berani menata ulang Nurani kita yang sudah bobrok diganti dengan Nurani kemanusiaan yang sadar akan jati dirinya. Maka dengan ini karena banyaknya kegiatan dan banyak hal yang mesti kita lakukan demi Bermasyarakat saya berharap agar segera kita bergandeng tangan dengan ikhlas dan sabar untuk bergabung bersama keluarga besar Songgo Buwono meneruskan langkah – langakah demi Rakyat dan Masyarakat dan saya membutuhkan Anggota Baru”.

Terima Siswa Baru
Pimpinan Sanggar Supranatural Songgo Buwono Yogyakarta pada hari Kamis malam Jumat Kliwon Tgl. 17 Mei 2007 membuka kesempatan bagi yang berminat mendarma baktikan diri untuk Masyarakat dan Bumi Pertiwi yang kita cintai ini untuk anggota agar membuka Penerimaan - Pendaftaran Siswa/ Anggota baru Songgo Buwono Yogyakarta dan Pendaftaran Bedoyo Songgo Buwono 99 (penari dengan kondisi Virgin) tempat pendaftaran Siswa Baru Anggota Songgo Buwono di Sanggar Supranatural Songgo Buwono Mancingan Xl Parang Kusumo – Kretek Bantul – Yogyakarta dengan Bpk. Kusworo Hp. 0818278755. Sedang Bedoyo Songgo Buwono 99 dapat mendaftarkan diri di Redaksi Taman Sari Jln. Kaliurang KM.5.6 Yogyakarta.

KEMBANG-KEMBANG KEHIDUPAN

Mbah Plentong Menapsir Mimpi
Hidup dan kehidupan sebagai muatan tanggung jawab apa yang telah digariskan oleh sang Maha Pencipta, manusia hanya diberikan batasan berusaha Tuhanlah kembali lagi yang akan menentukan . kembang –kembang mimpi hanyalah sebuah firasat atau gambaran\signyal bak sebuah pemancar yang diberikan sang maha pencipta untuk umatnya , tinggal manusianya sanggup untuk mentafsirkan atau dianggap angin berlalu begitu saja. Mulai edisi sekarang mbah Plentong akan membantu sodara-sodara di seluruh Nusantara untuk membahas perlambang mimpi dengan muatan muatan yang bisa dilogika lewat ilmu titen dari pendahulu-pendahulu kita.

DARI REDAKSI : Kalau anda punya gambaran mimpi, silahkan berkonsultasi lewat surat ke redaksi Taman Sari dengan mbah Plentong, pasti akan dijawab dengan akurat.

Dalam redaksi Taman Sari telah masuk tiga surat dari pembaca ;


TANYA : 1

Salam kenal mbah ! saya Esti siswanti, berdomisili di Banyumas jl. Kerto. Minggu lalu saya pulang dari Masjid rame-rame dengan teman kira-kira jam 8 untuk sholat Isak, kebetulan rumah saya dekat dengan tempat ibadah tersebut , dalam perjalanan berangkat saya terkejut kejatuhan jambu air yang telah masak berwarna hijau, setelah saya makan ternyata sangat manis rasanya. Sampai di masjid saya sholat minta petunjuk Allah apakah fenomena yang menimpa diri saya itu. Malamnya saya kok bermimpi aneh mbah ? pergi kepantai melihat nelayan menangkap ikan Pari (ikan P) Tetapi mengapa saya ingin membelinya padahal saya belum pernah memakannya. Terjadi transaksi berhasil saya beli Rp. 70.000,- Tuju puluh ribu rupiah ,apa makna yang terkandung didalamnya mbah?

JAWABAN : 1

Cucucuku yang cantik dan rajin ibadah, embah senang dengan caramu meminta kepada Allah telah benar adanya, dengan cara bersujut minta petunjuknya : dari analisa embah ada tiga poin petunjuk dan penjelas.1. Kejatuhan jambu perlambang dari waktu karena kejatuhan berarti saatnya telah tiba : 2. Bermimpi membeli ikan pari berarti cucu akan ketemu dengan orang yang cukup kaya, yang kelak akan menjadi jodohmu yang sesungguhnya. Ke 3 perlambang angka 7 berarti pertolongan, angka 0 berarti kembali ke sang Pencipta. Embah ikut bergembira karena cucu segera menerima karunia dapat pertolongan dari Allah mendapatkan jodoh dengan segera dan mempunyai kwalitas sholeh dan cukup kaya -raya . berterimakasihlah kepada Allah dengan berpuji syukurlah cucuku. ammin

TANYA : 2

Mbah Plentong , boleh saya bertanya berkisar mimpi saya, begini mbah apakah ini be enar mimpi itu bisa di analisa secara gambling dan jelas dan autentik keberadaannya dapat dipercaya ?. Terimakasih mbah saya Trisni Ambarwati dari Godehan Jogjakart

JAWABAN : 2

Cucuku Trisni, analisa hanyalah sebuah tafsir berdasarkan ilmu titen dari para pendahulu kita yang sumbernya dapat dipercaya. Dalam tradisi Djawa mimpi dibagi menjadi tiga bagian : 1. TITIYONI : Perlambang didapat pada tidur sore hari karena kelelahan : antara pukul : 7 malam sampai 9 malam sehingga bermimpi, biasanya disertai mengigau, maka tidak ada maknanya hanya sekedar kembang mimpi belaka. 2. GONDOYONI : Perlamban mimpinya orang punya keinginan yang belum kesampaian : contohnya : pengin beli mobil tapi uangnya belum mencukupi, sehingga angan-angan itu sampai terbawa dalam mimpi mereka. Biasanya antara pukul 9 malam sapai pukul 1 dini hari. 3. PUSPO TAJEM : mimpinya orang penuh prihatin selalu taat dengan sang pencipta sehingga sering diberikan gambaran-gambaran berupa firasat lewat mimpi dengan jelas, walaupun kadang-kadang maksih harus diterjemahkan oleh yang lebih ahli dan biasanya ada maknanya sehingga perlu dikaji lebih jauh karena biasanya berupa firasat yang bisa dipertanggung jawabkan keberadaanya . begitu cucuku semoga jelas adanya.

PERTANYAAN : 3

Mbah Plentong saya Baroto, tinggal di Ambarawa pingin tau tafsir mimpi saya malam sabtu pon lalu pukul 3 pagi. Saya bermimpi mendengar suara burung banyak sekali tapi tidak kelihatan ujutnya apa sekiranya ada artinya ?

JAWABAN : 3

Cucuku Baroto , benar sekali impianmu itu sangat bermakna maka dari itu : coba embah terjemahkan. Disini ada dua poin yang akan embah analisa keberadaanmu. 1. Hari mimpimu sabtu –pon : dilihat dari Purwo , madyo dan Wusono / akhir hari kejadian mimpi menunjukan makna yang kurang mengenakkan kejadiannya. Purwo/awal kejadian berarti jumat paing : menunjukan keinginanmu . Madyo/waktu bermimpi menunjukan kejadianmu. Wusono/akhir kejadianmu : dari hari yang embah analisa menunjukan cucu pingin menduduki jabatan dengan cara yang tidak benar sehingga membuat fitnah dan kasak kusuk terhadap pesaingmu. Dengan maksut ingin menjatuhkannya benar nggak cucuku…………… 2. Suara burung yang cucu dengar melambangkan dirimu akan dimarahi habis-habisan oleh atasanmu : Rangkuman dari kejadianmu menunjukan cucu akan segera diberhentikan dari jabatan kemungkinan besar akan diberhentikan tidak hormat. Bertaubatlah segera kepada Allah Saw supaya diberi ampunan. Ammin.



&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

HOROSCOOP dan PALINTANGAN
Diasuh oleh : mas Kandjeng Rekso Noto

Untuk edisi ini mas Kandjeng akan akan mengupas tuntas rahasia dibalik makna dunia kaum Hawa : Haid adalah sebuah misteri yang bisa dibaca maknanya : yang mungkin akan bisa berguna atau paling tidak sekedar tau apa-apa yng tersembunyi dibalik rahasia itu : Haid merupakan misteri dari sang pencipta untuk sebuah proses perputaran kelangsungan kehidupan bagi manusia. Mesteri ini hanya diberikan pada kaum Hawa saja, kejadian ini bisa diambil maknanya atau simbul akan kejadiannya, maaf jangan dianggap syirik atau musrik karena ini hanya sebuah analisa daya upaya manusia sekedar ingin tau kejadiaannya , silahkan diresapi dan buktikan keberadaannya secara sendau-gurau saja jangan dibuat pusing , coba lihat analisanya. Dalam analisa ini akan kita kelompokan dalam tabel Hari dan Pasaran, jam, waktu. biar mudah dibaca secara gambling :


TABEL HARI :

HARI MINGGU : Menunjukan sebuah firasat akan ketemu lagi secara tidak sengaja dengan teman lama di jalan.
HARI SENIN : beruntung mendapatkan jalan keluar dari masalah yang sedang dipikirkan
HARI SELASA : kegembiraan hati yang tidak terkira
HARI RABO : perselisihan fahanm terjadi karena salah ucap
HARI KAMIS : akan berduka mendengar berita
HARI JUMAT : akan bersuka ria mendengar berita
HARI SABTU : terkejut mendengar berita dari sodara dekat

TABEL PASARAN :

PASARAN KLIWON : beruntung dapat masukan dari orang
PASARAN LEGI : senang hati tak terkira
PASARAN PAING : kedatangan tamu membawa rejeki
PASARAN PON : bersedih hati karena ada kejadian yang tak terduga
PASARAN WAGE : berhalangan di jalan

TABEL TANGGAL :

1. Datang kesenangan walaupun sedikit
2. Beruka hati
3. Perselisihan tak bisa dihindari
4. Keberuntungan datang
5. kekecewaan datang
6. Kabar dari jauh bertubi-tubi
7. beruntung dapat bingkisan
8. hajatan membawa berkah karena situasi
9. terhindar dari rasa kecewa
10. Kabar dari kekasih hati
11. Mendapatkan kesenangan
12. berlega hati beban hutang terselesaikan dengan baik
13. Bernafas lega terbebas dari jeratan hutang piutang
14. Diunang diajak berembuk
15. Terkejut mendengar berita
16. Bahaya sedang mengancam
17. sedang di perbincangan orang
18. terhalang situasi
19. Dirasani kurang baik dengan teman dekat
20. sedang ada permusuhan diantara teman dekat
21. bersedih hati /ada masalah besar
22. bergembira ria
23. dipermalukan orang
24. Rada rezeki dating tak terduga
25. Dapat tagihan utang
26. Dapat pujian dari orang lain tapi punya maksut
27. Bisa berlega hati mendapat berita
28. Tertekan batinnya
29. Perjalanan jauh akan ditempuh
30. Mendapatkan kegembiraan
31. Terhindar dari petaka besar

TABEL WAKTU KEJADIAN :
SIANG HARI :
JAM :

6. : Menunjukan rasa curiga tak dapat dibendung
7. : Kebahagiaan
8. : Sangat merindukan sesuatu
9. : membuat janji mesra
10. : Lega dalam hati
11. : Menepati janji
12. : Kehendak hati
1. : Tidak mengecewakan hati
2. : Sedidit mengecewakan hati
3. : Kemesraan
4. : Berjuaang walaupun dalam angan-angan
5. : Benih-benih asmara tumbuh


TABEL WAKTU KEJADIAN
MALAM HARI
JAM :

6. : Sedih hati dalam sepintas
7. : Kecewa dalam sepintas
8. : Sulit mengakui kenyataan
9. : Benih kerinduan muncul
10.: Mendapat pengalaman sepintas
11.: Kegembiraan hati
12.: Saling bersambut asmara
1. : dilain hari musti akan bertemu lagi
2. : Selalu mengingat
3. : Sumpah janji terucapkan
4. : Ragu-ragu dalam bercinta
5. : Dipermalukan orang

OPERASIONAL TABEL :

Anda tinggal menggabungkan tabel-tabel diatas akan menjadi sebuah kalimat yang menunjukan kejadian yang bakal terjadi dalam sepintas.
Contoh : Umpama anda datang bulan/haid pada hari Kamis legi . Tanggal 6. jam : 5 sore.

Kamis : Akan berduka mendengar berita
Legi : Senang hati tak terduga
Tgl. 6. : Kabar dari jauh bertubi-tubi
Jam : 5 Sore : Sedih hati dalam sepintas.

Susunan kalimat : Akan berduka mendengar berita : . Senang hati tak terduga. Kabar dari jauh bertubi-tubi. Sedih hati dalam sepintas.

Hari : Menunjukan kejadian yang terjadi saat ini : Akan berduka mendengar berita.

Pasaran legi. Tanggal dan jam menunjukan perjalanan dalam kalimat yang harus disusun dan dibaca.
Senang hati tak terduga = mungkin mendapat surat cinta. Kabar dari jauh bertubi-tubi = kabar itu mungkin memutuskan hubungan cinta/atau ungkin hubungan bisnis juga bisa atau hubungan persahabatan juga bisa mungkin.
Sedih hati dalam sepintas = Setelah tau kabar lewat surat ternyata tidak sesuai maka menjadi kecewa. Itulah kurang lebihnya maksut dari kalimat yang tersusun. Anda harus pandai-pandai merasakannya.







Aaa
APOTIK HIDUP
Diasuh : Ir. Haninda Nusantara Nhd.
PERTANYAAN :
Bp. Haninda mempunyai masalah yang berat , setiap hari saya musti harus pakai kemeja panjang, masalahnya : kulit saya belang-belang putih, malu saya dikatain nyupang bulus njimbung, demi Tuhan jauh dari kamus hidup saya soal itu. Sakit saya apa penyebabnya kesiku, ataupun dibuat orang ?.

JAWABAN :
Saudara tidak menyebutkan nama dan alamat yang jelas, coba nanti susulkan data anda yang lengkap Tg, Bln. Thn. Yang benar Oke !. Begini analisa saya anda terkena semacam Virus yang merusak jaringan pikmen kulit anda yang disebabkan karena gangguan pada fungsi ginjal , jadi tidak ada kaitannya dengan kesiku atau dibuat orang, jangan kawatir masih ada jalan selama yang bersangkutan mau berusaha pasti Tuhan akan menentukan :

ANJURAN :
Ambil tiga batang klembak (bahan untuk campuran rokok) , Satu jeruk Nipis dibelah menjadi 4 (empat), Lima buah bunga cengkih, satu jari kayu manis, 3 buah Kapu logo, 2 Buah brambang merah, Masukkan bahan-bahan diatas kedalam minyak Wijen : 100 cc. Masukan dalam mangkok enail atau mani jangan jangan aluminium rebus dengan cara di tim biar tidak terbakar minyaknya sampai mendidih : , setelah dingin bisa dipakai untuk minyak oles kulit anda, itu untuk pengobatan bagian luar, sedangkan pengobatan dari dalam , coba usahakan sering makan daun sambiloto, boleh untuk lalapan ataupun dimasukan kapsul karena agak pait, ukurannya pemakaiannya paling tudak 10 lembar,, setiap makan nasi , lamanya tergantung masing-masing orang. Maka dianjurkan sampai sembuh.


TANYA :

Bp. Haninda saya : Bapak Djuswantoro, Umur 48 Th, Berdomisili di Klaten. Saya mengalami kondisi badan selalu merasa tidak enak , dikatakan lemas ya tidak, dikatakan sehat ya tidak, badan tidak nyaman begitu, priksa ke medis telah saya tempuh tapi hasilnya belum ada tanda-tanda membaik, tolong Pak saya diberikan petunjuk atas kondisi badan saya ini. Terima kasih sebelumnya :

JAWABAN ;

Bapak Djuswantoro, sakit yang ada derita adalah gangguan pada funfsi pencernakan ada sedikit kelainan dari pembawaan lahir anda, coba ambil satu botol air masak (botol dari kaca)/Gendul, tutup rapat botol itu lalu masukan dalam bak kamar mandi/direndam dalam air, paginya minum air itu setiap pagi sebelum makan apapun, usahakan setiap pagi. Botol bisa diisi kembali dan masukan kembali dalam dak tadi dipakai besuk hari, begitu seterusnya , awal pertama yang dirasakan agak seperti flu, lama-lama terbisa dan badan akan terasa nyaman, begitu Bapak selamat mencoba.
Aaaaaa
ANJURAN :

Usahakan setiap pagi antara pukul 7 (tujuh) sampai 9 (sembilan) berjemur matahari disitu sinar ultra violet sangat dibutuhkan oleh badan anda. Hindari makanan-makanan yang mengandung colesterol tinggi, hindari sayur kangkung, kobis dan sea food. Perbanyak makan buah-buahan dan sayur-sayuran segar. Minuman dan sirup botol tinggalkan dulu banyak-banyaklah minum air putih saja.


Catatan : Dari Redaksi Taman Sari mempersilahkan bagi para pembaca yang ingin berkonsultasi dengan pengasuh : Herbal dan Apotik Hidup Lewat surat. Alamatkan ke Tabloid Taman Sari .Terima kasih.


$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$

DALEM MANGKUBUMEN

Oleh : Tri Yuniastuti dan Satrio HB Wibowo*)
Sejarah Bangunan
Dalem Mangkubumen yang kini dijadikan sebagai Kampus Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) pada awalnya adalah rumah Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro, yaitu Putra Mahkota Sri Sultan HB VI. Sebagai rumah Adipati, tempat ini dahulu disebut Ndalem Kadipaten, namun setelah Pangeran Adipati dinobatkan menjadi Sri Sultan HB VII, selanjutnya dalem Kadipaten ditempai adik beliau yang bernama Pangeran Mangkubumi, sebagai pencetus ide pendirian dan sekaligus sebagai arsiteknya (wawancara dengan RM. Tirun Murwito, pejabat Kraton Yogyakarta, 2006), sehingga sampai saat ini lebih dikenal sebagai Dalem Mangkubumen.
Dalem Mangkubumen merupakan suatu komplek yang terdiri dari beberapa bangunan dan dikelilingi oleh tembok pembatas. Berdasarkan prasasti yang terdapat di beberapa bangunan komplek dalem Mangkubumen, dapat diketahui berdirinya dalem ini. Bangunan yang tertua yaitu bangunan Sriwedari yang dibangun tahun 1874, sedangkan Bangsal Prabayeksa dibangun mulai tanggal 3 Pebruari 1876 dan selesai 1877, yaitu pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877).

Fungsi Bangunan
Meskipun Dalem Mangkubumen ini pada mulanya diperuntukkan bagi tempat tinggal Putra Mahkota, yang akan menjadi Raja Keraton Yogyakarta, namun kenyataannya hanya Putra Mahkota calon Sri Sultan Hamengku Buwono VII saja yang pernah mendiami ndalem ini selama 5-7 tahun. Selanjutnya sejak tidak berfungsi sebagai tempat tinggal Putra Mahkota, dalem ini hingga kini telah berganti-ganti fungsinya. Menurut S.Ilmi Albiladiyah, dalam Dalem Mangkubumen Kodya Yogyakarta dan Kompleks Makam Girigondo Temon Kulonprogo, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 1985/1986, fungsi-fungsi yang pernah terjadi pada Dalem Mangkubumen adalah :
1. Sebagai tempat tinggal Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Pati
2. Sebagai tempat tinggal Pangeran Mangkubumi, putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan adik dari Pangeran Adipati Anom, hingga tahun 1918.
3. Sebagai tempat tinggal Pangeran Buminoto, putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan adik dari pangeran Mangkubumi, hingga tahun 1928.
4. Tidak berfungsi hingga tahun 1942
5. Sebagai tempat pengungsian Jendral Soedirman walau hanya sehari di tahun 1948, tetapi selanjutnya keluarganya tinggal di dalem ini hingga perang berakhir pada tahun 1949
6. Tidak berfungsi hingga tahun 1952 dan dikelola sepenuhnya oleh Kawedanan Hageng Punakawan Wahana Sarta Kriya (kantor gedung-gedung kraton Yogyakarta)
7. Sebagai kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sampai tahun 1982
8. Tidak berfungsi hingga tahun 1983 dan dikelola lagi oleh Kawedanan Hageng Punakawan Wahana Sarta Kriya
9. Sebagai tempat pendidikan Yayasan Mataram hingga saat ini.

Saat ini, beberapa bangunan di dalam komplek Dalem Mangkubumen digunakan Yayasan Mataram untuk menyelenggarakan pendidikan bagi Universitas Widya Mataram Yogyakarta dan SMU Mataram, beberapa bangunan sebagai tempat tinggal keluarga kerabat keraton, satu bangunan untuk Sekolah Taman Kanak-kanak dan beberapa bangunan untuk magersari.

Tata Ruang
Tata Ruang Dalem Mangkubumen mengikuti orientasi kosmologi Kraton, mengarah selatan-utara (Siti Widayatsari, 2002, Tata Ruang Rumah Bangsawan Yogyakarta, dalam Jurnal Ilmiah Dimensi Volume 30 Nomor 2, LPPM Universitas Kristen Petra, Surabaya). Secara keseluruhan tata ruang Dalem Mangkubumen dapat dilihat pada gambar berikut :

Bangunan Pokok Dalem Mangkubumen :
Bangsal Prabayeksa

Bangsal Pringgitan
Gedhong Inggil
Bangsal Ageng (Pendapa Agung)

Regol Cemeng

Bangsal Banjar Andap
Dari arah selatan menuju utara dapat dijumpai bangunan-bangunan yang masih berbentuk tradisional. Bangunan terdepan di ujung selatan dalem Mangkubumen, adalah Bangsal Banjar Andhap. Ruang di sekitar bangunan ini bersifat sangat umum, dapat diakses dari luar (timur, selatan dan barat). Berikutnya ke arah utara terdapat Regol Cemeng yang diapit 2 pintu gerbang menuju bagian tengah. Pada bagian tengah terdapat Bangsal Ageng. Sebelah utaranya terdapat bangunan Gedhong Inggil dan Bangsal Pringgitan. Di bagian paling belakang bersifat privat yang dulunya sebagai tempat hunian keluarga Pangeran Adipati Anom adalah Bangsal Prabayeksa yang diapit Bangsal Aalit Wetan dan Bangsal Alit Kilen.

Fungsi Bangunan Dulu dan Sekarang
Berdasarkan hasil penelitian penulis pada tahun 2006, tentang Perubahan Bentuk Bangunan Tradisional Dalem Mangkubumen Yogyakarta, beberapa bangunan utama dalam komplek Dalem Mangkubumen yang saat ini digunakan Universitas Widya Mataram Yogyakarta, antara lain dapat dilihat pada table berikut ini.

No.
Nama Bangunan dan Bentuk
Fungsi Semula
Fungsi Sekarang
1.
Bangsal Banjar Andap
Sebagai tempat caos atau berkumpulnya para pegawai Kadipaten (pegawai Pangeran Adipati Anom) dan sebagai tempat persiapan para pegawai untuk mengiring bila Pangeran Putra Mahkota bepergian.
Sebagai Laboratorium dan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

2.
Regol Cemeng
Sebagai ruang penjagaan dan sebagai bangsal untuk melaksanakan hukuman bagi abdi dalem (pekerja/pelayan) Pangeran Adipati Anom
Sebagai Ruang Kuliah dan Kantor Yayasan Mataram Yogyakarta
3.
Bangsal Ageng
(Pendapa Agung)

Sebagai tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan yang bersifat umum seperti menerima tamu, pisowanan, dan upacara-upacara keluarga serta sebagai tempat pentas kesenian.
Sebagai tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan akademik UWMY yang bersifat umum : upacara Dies Natalis, Wisuda, Seminar, pertunjukan seni, pameran, dll.
4.
Gedhong Inggil
Sebagai Kantor Pangeran Adipati Anom.
Sebagai Kantor Rektoriat dan Biro I dan II UWMY
5.
Bangsal Pringgitan
Sebagai ruang untuk penyelenggaraan pertunjukan wayang kulit, yaitu kesenian khas masyarakat Jawa.
Sebagai Ruang Pertemuan yang bersifat terbuka.
6.
Bangsal Prabayeksa
Sebagai tempat tinggal keluarga (dalem ageng) Pangeran Adipati Anom dan keluarga.
Sebagai perpustakaan UWMY, sebagian untuk ruang kuliah, dan sebagian kecil ruang untuk ruang penyimpan barang-barang peninggalan Pangeran Adipati Anom.
7.
Bangsal Alit Kilen
Sebagai tempat bermain putra-putri Pangeran Adipati Anom.
Sebagai tempat kegiatan perkuliahan Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, UWMY : seminar, pameran dan pendadaran Tugas Akhir
8.
Bangsal Alit Wetan
Sebagai ruang depan (semacam ruang tamu atau teras) kediaman istri Pangeran Adipati Anom
Sebagai tempat perkuliahan jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Dengan digunakannya komplek Dalem Mangkubumen yang dulunya sebagai rumah Putra Mahkota calon Raja Kasultanan Yogyakarta sebagai kampus Universitas Widya Mataram Yogyakarta, diharapkan bisa mendidik para mahasiswa untuk menjadi pemimpin bangsa yang berkualitas dan berbudaya. Dan hal yang terpenting adalah bangunan bersejarah ini dapat terpelihara dan terjaga kelestariannya.

Melacak wayang-wayang keramat

KUNCUNGNYA telah lepas dari kepalanya. Bajunya lusuh, seakan terdapat sobekan di sana sini. Tetapi wajahnya tetap menunjukkan keceriaannya. Meski wajahnya tergolong jelek, tetapi setiap orang suka menatapnya. Badannya pendek, gemuk yang melengkapi kejelekan wajah tidak sedikitpun menggoyahkan hati orang untuk selalu mendekatinya. Dia selalu menjadi bahan pembicaraan, bahkan tokoh panutan. Kesukaannya merendahkan hati, tetapi di hati orang justru sering disanjungnya. Pendiriannya adalah mengutamakn dan menegakkan keadilan. Itulah sebabnya banytak yang yang mengatakan, perutnya yang buncit itu sebenarnya penuh kebijaksanaan, hatinya penuh kesabaran sesuai jalannya yang pelan-pelan. Hidupnya sepanjang jaman seakan mengikuti hidup manusia. Namanya banyak, karena setiap nama adalah cermin wataknya yang penuh kesederhanaan. Itulah tokoh Semar yang gambarannya terukir dalam kulit berbentuk wayang kulit. Semar juga disebut Ismaya, juga disebut Bogasampir, Nayantaka.
Saat menyebut nama tokoh Semar, orang tidak asing lagi mendengarnya. Bahkan melihat gambarnya saja, banyak orang tahu bahwa bentuk semar itu adalah itu, bukan yang lainnya. Meski dalam banyak versi, tetapi orang akan mudah mengenal bahwa dialah Semar.
Di sebuah desa kecil di Kabupaten Temanggung, persisnya di Dusun Kaliampu, Desa Kebumen, Kecamatan Secang, terdapat wayang kulit Semar yang sangat unik dan berbeda dari biasanya gambaran tokoh Semar dalam wayang kulit.
Semar ini terasa sangat keramat dan wingit. Selain karena pakaiannya yang kelihatan lusuh lantaran tak pernah disungging (dicat) kembali, Semar yang dimiliki keluarga Ny. Jemblok yang kini telah berusia 100 tahun lebih ini memiliki rantai panjang yang diikatkan pada mulut dan pada bagian perutnya. Pada mulutnya juga diikatkan sebilah tangkai dari gading penyu untuk menggerakkan mulutnya saat dia berbicara.
Tokoh wayang kulit yang bernama Semar ini tidak sendirian. Dia ditemani empat wayang kulit yang tampaknya berusia sama tuanya, karena keadaannya yang sama-sama kelihatan lusuh. Wayang yang lainnya itu adalah tokoh Kresna, Harjuna, Sembadra dan Begawan Ciptaning.
Anehnya kelima wayang kulit yang berwajah lusuh itu tidak pernah dipentaskan dalam pagelaran wayang kulit oleh kelima cucu Mbah jemblok yang semuanya adalah dalang. Cucu Mbah jemblok itu adalah : Kabul, Gampang, Teguh, Juariah dan Kahono. Ternyata para cucu Mbah Jemblok ini tidak berani memainkan kelima wayang kulit ini, karena wayang-wayang itu adalah wayang yang digunakan khusus untuk ruwatan.
Ketika disaksikan dengan seksama oleh pecinta budaya spiritual, Ki Haryo, wayang kulit dengan tokoh Semar dan Sembadra tersebut memang memiliki sifat rohaniah. Sifat rohaniah itu terjadi lantaran di dalam wayang kulit Semar dan Sembadra ini bersemayam roh leluhur yang dahulu ketika masih hidup di dunia memiliki pekerjaan sebagai tokoh spiritual. Tokoh yang berada di dalam wayang Semar mengaku bernama Ki Ageng Kumara, sedangkan yang berada di wayang Sembadra bernama Nini Wulan Kesuma.
Keduanya memiliki perbedaan kesukaan sesaji. Ki Ageng Kumara menghendaki sirih kinang dan temabakau susur serta jenang merah dengan juruhnya. Sedangkan Nini Wulan Kusuma hanya menghendaki nasi kuning. Kesemua bentuk sesaji itu adalah symbol yang dapat dijadikan pegangan manusia dalam melaksanakan hidup baik di dunia.
Semenara untuk tokoh-tokoh lainnya seperti tokoh Kresna, Harjuna dan Begawan Ciptaning, Ki Haryo belum bersedia melihat lebih dalam tentang ada tidaknya roh leluhur yang bersemayam di dalamnya.

Keluarga Dalang

Keluarga besar Mbah Jemblok adalah keluarga dalang. Ayahnya, Ki Gondosujud dan kakek Mbah Jemblok yang terkenal dengan Karyo Pakis adalah dalang terkenal di jamannya yang kini telah meninggal dunia. Saudara Ki Gondosujud, ayah Mbak Jemblok juga dalang bernama Ki Cermodiguno. Ki Cermodiguno inipun juga keluarga besar dalang karena anaknya, Ki Hadi Susanto adalah juga dalang terkenal di daerah Kedu. Dua anak laki-laki Ki Hadi Susanto, yaitu Hendri dan bayu juga dalang.
Menurut kesaksian Ki Hadi Susanto, wayang-wayang kulit yang dianggap keramat itu dahulu digunakan oleh orang tuanya khusus untuk melakukan upacara tradisional yang disebut ruwatan. Untuk melakukan ruwatan, tidak semua dalang bisa melaksanakan kecuali telah memiliki syarat-sayarat khusus. Jika syarat-syarat itu belum dipenuhi seorang dalang tidak akan berani melaksanakan ruwatan. Itulah sebabnya wayang-wayang itu dianggap keramat. Bahkan memperbaiki wayang-wayang keramat itu para dalang tidak berani melakukan sebelum ada orang yang mampu memberikan petunjuk kesejatiannya. “Karena itu menyangkut ras hormat kita pada leluhur yang dahulu membuat wayang itu. Para leluhur dahulu kalau membuat wayang dengan kesungguhan dan ada tujuannya. Bahkan diikuti dengan puasa dan mati raga. Oleh karenanya kami tidak berani kalau terkena walat atau tuahnya,” tutur Ki Hadi Susanto.

Ki Hajar Daka

KISAH Ki Hajar Daka adalah kisah wayang kulit pusaka dan kisah gamelan keramat. Kisah itu kini tersimpan kuat di lereng Merbabu, tepatnya di Desa Dakan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.
Yang disebut Ki Hajar Daka sendiri adalah tokoh leluhur Desa Dakan yang keberadaan makamnya berada di atas Desa Dakan, di lereng gunung Merbabu. Selain makam ki Hajar, di bawah makam Ki Hajar ada rumah kecil kosong yang telah dipugar. Menurut kepercayaan penduduk, seperti diceitakan juru kunci makam, Sutyoso (46 tahun), rumah kecil kosong itu adalah petilasan padepokan Ki Ageng Hajar Daka. Sementara di seputar makam ada pula beberapa makam. Satu di antaranya makam dekat makam Ki Hajar menyerupai makam Ki Hajar sendiri. Ada kemungkinan makam yang mirip makam Ki Hajar adalah makam istri Ki Hajar atau paling tidak orang yang sangat dekat dengan Ki Hajar. Sedangkan makam-makam yang lainnya dianggap sebagai makam pengikut setia Ki Hajar.
Ki Hajar sewaktu hidup sempat meninggalkan perangkat hasil budaya berupa satu kotak wayang kulit. Seperangkat wayang kulit ini sangat dihormati penduduk Desa Dhakan. Meski bentuknya sangat sederhana tetapi begitu dipercaya sebagai pusaka penduduk desa Dakan. Wayang adalah pusaka milik penduduk bukan milik pribadi.
Dari penuturan Sutyoso , yang melanjutkan cerita tutur dari orang tuanya (Sudarjo) dan nenek moyangnya, Ki Hajar dahulu adalah tokoh agama yang membawa budaya wayang kulit. Entah alasan apa, Ki Hajar sampai menetap di daerah Dakan ini. Sebetulnya, nama Desa Dakan ini bermula dari kta duka, yang berartri marah. Dahulu, Ki Hajar bernama lengkap Ki Hajar Windu Sono. Tempat Ki Hajar bertempat tinggal di sebuah desa yang sekarang bernama Desa Windu. Karena ada yang memfitnah dirinya, Ki Hajar menjadi marah atau dalam bahasa Jawa duka. Maka di tempat Ki Hajar duka inilah, menjadi desa Dakan yang artinya tempat Ki Hajar duka (marah).
Masih dari penuturan Sutyoso, jumlah wayang kulit yang dimiliki Ki Hajar ada dua kotak. Tetapi, yang satu kotak tersimpan dalam batu yang mirip kotak penyimpan wayang kulit pada umumnya yang berada pada sebuah makam. Sedangkan kotak wayang kulit yang lainnya hingga kini masih ada di Dusun Dakan sebagai barang pusaka milik masyarakat Desa Dakan. “Jadi wayang kulit ini adalah milik warga Desa Dakan. Bukan milik perorangan, sebagai barang pusaka. Tetapi sering diaku milik orang pribadi,” jelas Sutyoso yang orng tuanya yang telah meninggal juga adalah juru kunci makam Ki Hajar Daka.
Menurut Sutyoso, selain peninggalan Ki Hajar berupa wayang kulit, juga ada peninggalan lain berupa seperangkat gamelan. Tetapi sekarang ini seperangkat gamelan yang merupakan peninggalan Ki Hajar yang seharusnya keberadaannya selalu melekat dengan wayang kulit sudah tidak satu lagi. “Ini yang menjadi keprihatianan masyarakat Desa Dakan. Bahkan terdengar khabar gamelan itu sudah dijual kepada orang perorangan. Akibatnya, kalau ada pertunjukkan wayang dengan menggunakan wayang pusaka, masyarakat desa Dakan sudah tidak banyak yang menyaksikan,” tutur Sutyoso.
Dari penuturan masyarakat seputar lereng Merapi-Merbabu, kisah wayang pusaka ini sangat kondang. Selain wingitnya wayang kulit, keunikan pagelaran wayang kulit. Gamelan yang sangat sederhana karena jumlah dan jenisnya yang tidak seperti lazimnya, hanya mirip gamelan untuk jathilan jaran kepang. Jenis gamelan yang ditinggalkan adalah berupa kethuk, kenong, sarong, gong dan kendhang. Kecuali itu, menurut tradisi, dalangnya pun harus makan sirih kinang kalau mau pentas. Tetapi, tradisi pagelaran seperti itu agaknya telah ditinggalkan. “Saya sudah tidak pernah nonton lagi jika wayang kulit pusaka itu ipentaskan. Karena sudah tidak seperti dahulu lagi,” kata Sutyoso.
Menurut Suwandi, penduduk Ngipik – Blabak, Magelang, yang pernah menyaksikan pagelaran wayang pusaka Ki Hajar Daka pada tahun 1955 – 1963, wayang pusaka di Dusun Dhakan itu sungguh-sungguh keramat. Tetapi tidak kalah keramatnya adalah makam Ki Hajar yang berada di Desa Dakan itu sendiri. “Pernah di tahun 1963, wayang pusaka pentas di Karisidenan Magelang, menurut cerita, saat acara goro-coro, wayang berupa punakawan tidak ada. Ternyata esoknya sudah di rumah Ki Dalang pada waktu itu. Wayang punakawan ini pulang dahulu kaena sesaji yang ada kurang lengkap, kurang bothok kacang tholo yang disebut amplas. Beberapa hari setelah pentas, ada kesaksian dari penduduk desa, pada waktu tengah malam saat wayang digelar dalam pentas di Karisidenan Magelang, dilihatnya punakawan ini berbondong-bondong berjalan dan sempat disapa dan memberikan jawaban bahwa mereka adalah punakawan dari Dakan. Masih menurut Suwandi dan dibenarkan oleh Sutyoso, kecuali peninggalan wayang kulit dan gamelan, masih ada peninggalan lain berupa kitab kuno berbentuk kipas. Kitab ini memiliki huruf yang sangat an eh dan hingga kini belum ada yang bisa membacanya.
Kisah wayang kulit yang angker juga dituturkan oleh dalang kondang di Kabupaten Mgelang, Ki Hadi Susanto (52 tahun). “Saya sendiri pernah menyaksikan pagelaran wayang kulit itu. Tetapi untuk ukuran budaya pedalangan, pagelaran wayang kulit di Dhakan ini sangat unik karena berbeda dengan pakem yang biasa dilakukan para dhalang. Tetapi orang tidak boleh mengejek atau mentertawakan,” tutur Ki Hadi Susanto. Menurut Ki Hadi, pernah terjadi orng mentertawakan pagelaran wayang kulit di Dhakan yang sngat aneh dan ganjil, namun tak lama kemudian mulutnya tak bisa kembali dari posisi tertawa itu. Bahkan, kata Ki Hadi lebih lanjut memberi kesaksian, meski jumlah perangkat gamelan begitu sederhana, tetapi kalau didengar dari kejauhan sangat mirip dengan bunyi gamelan biasanya.
***
Udara dingin senantiasa hadir di sepuar makam Ki Hajar ini. Kecuali udara yang dingin, suara air gunung yang jernih dan sangat dingin, juga terlihat pemandangan alam yang luar biasa indah. Gungung Telomoyo dan Gunung Andong di wilayah Grabag-Magelang terlihat ramah bersama sorot matahari di sore hari.
Menyaksikan keberadaan Desa Dakan, sebetulnya masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat desa-desa di pegunungan. Kecuali kesederhanyaannya, juga kekekunan menghadapi hidup. Ada semangat gotong royong, kerukunan antar penduduk, rajin bekerja. Itulah keramahan budaya yang membalut hidup penduduk Dusun Dhakan. Keramahan budaya ditambah dengan keindahan pemandangan alam serta kesuburan tanah Desa Dhakan, sebenarnya adalah cirri khas bangsa Indonesia

Desa Dakan sendiri begitu akrab dengan kabut dan hujan.. Begitu juga dengan udara dingin dan sejuk, adalah sahabat penduduk desa ini. Agaknya udara sejuk dan dingin ini yang setiap hari mampu memberi semangat kerja yang tinggi. Bulan-bulan terakhir ini hujan masih saja turun di daerah Dakan. Bagai air pegunungan yang murni dan bersih hujan diturunkan di Desa Dakan, desa terakhir menuju puncak Merbabu di wilayah Kecamatan Pakis. Namun di tempat tinggi ini guruh guntur kedengaran begitu dahsyat dan terasa mengerikan. Gemuruhnya guntur menggetarkan kaca-kaca rumah, seakan dewa pegunungan yang berseru-seru.
Desa terpencil ini memiliki jalan bebatuan sejauh 10 km dari jalan raya Pakis-Kopeng. Rakyat Dakan sendiri yang mengerjakan pengerasan jalan pedesaan. Rakyat begitu semangat dan rela menyumbangkan tenaga demi kegotongroyongan. Begitu ada embug dessa untuk mengdakan gotongroyong desa, semangat spontan terasa terbakar dalam hati mereka masing-masing. Meski jalan terjal dan panjang bahkan harus melalui perbatasan hutan pinus, mereka tetap saja tekun menata batu-batu besar. Hasilnya, kendaraan roda empat bahkan kendaraan berjenis truk sekalipun dapat masuk ke Desa Dakan guna mengangkut berbagai hasil panen tanah Dakan. Lebih dari sekedar semangat kegotongroyongan adalah semangat kerukunan antar umat beragama di antara penduduk Desa Dakan. Antar kelompok umat antar agama di Desa Dhakan ini saling rukun dan menyadari serta menghargai Cahaya Ilahi yang menerangi masing-masing hati umat manusia.
Bagi pendatang yang datang di desa ini pastilah muncul kekaguman pada semangat rakyat yang menyala-nyala ini, sekaligus bertanya, api apa yang membakar semangat kerja gotong royong penduduk. Misteri semangat rakyat ini akan sedikit terkuak ketika orang tahu bahwa di dalam kotak wayang kulit ini ada tokoh wayang kulit yang di dalamnya bersemayam roh leluhur dengan pakaian senopati. Dari penglihatan supranatuiral yang dilakukan oleh Ki Haryo Hutomo yang mengikuti perjalanan wartawan Taman Sari ke Desa Dhakan terlihatlah roh leluhur bersemayam pada tiga wayang kulit pusaka, yaitu pada tokoh Petruk, tokoh Arjuna dan tokoh Sembadra. . Roh leluhur yang ada di tokoh wayang Petruk ini adalah dahulu adalah seorang senopati yang jiwanya sangat lincah dan rajin. Maka inilah yang mempengaruhi semangat hidup masyarakat Dhakan,” tutur Ki Haryo Hutomo. (Daniel Tatag)

Pesan Gaib KI AGENG MANGIR

Dhandhang Gula

Sasadara huwus panglong iki / Parandene mancorong baskara
Sumelet kelet panase / Kabeh wong padha bingung
Salang tunjang angkara sirir / Ananging kang pinanggya
Geni mulad murub / Bumi bengkah luru tumbal
Tan kawilang kehing layon nggondhol tangis / Nuswantara kantaka
Dhuh, dhuh, adhuh Risang Maha Yekti
Abdi muja konjuk Maha Wikan / Krama galana hambeke
Mulat karuganipun / Bumintara kawula dasih
Tuwahing lampah tama / Kawarna pra luhur
Lumembat sang sinatriya / Tentrem ayem tata titi kuswa rukmi
Mandhireng mulya jaya
Punapa ta badhe klampah malih / Pralayane prabu Dharmawangsa
Tanapi sirna ilange / Majalungga karuhun
Mawut ambyar talining asih / Putra anglaga bapak
Kadang dados satru / Sadayanipun punika
Krana polah wiyasaning gatra wangsi / Angugung durangkara
Kang kajangka dening pra winasis / Nagri mami kalungge sapendhah
Wong jawa ilang jawane / Nyingkur pepakon luhung
Wusanane ibu Pratiwi / Rumaos yen katilar
Datan den pailu / Dhuh Gusti Sang Murbeng jagad
Mugi krenan paring lejar lan udani / Dhumateng abdi nDika
Nadyan amba wus kamuksan jati / Kapiyandhem satuti ngastawa
Maring napi kula wngse / Ndeek angudar simpul
Kinthung silung kapugut yekti / nanging abdi paduka
Jalma punggung cubluk / pramilanta nyuwun wucal
Kados pundi lampahing pambudi / sumangga mawarsita


Sinom

1 . Ingsun pranataning jagad/ maha welas maha asih
Tanpa wates tuhu tresna / tumrap titah kang ngabekti
Lan setya angugemi / marang angger dhawuh Ingsun
Fhuh nguni Ingsun serat / ing watu loh cacah kalih
Sun paringke marang Musa dhutaning wong

Marwa hawya melang driya / Ingsun krenan ngijabahi
Panyuwun umat Ingwang / Nuswantara bakal bangkit
Tandane jaman iki / timbul titah sipat rasul
Sumrambah ing bawana / kanthen asta ngesthi Gusti
Tanpa pamrih ider warih tirta marta

















Ki Ageng Mangir dan Misteri Teka-teki

IBARAT misteri angin, kisah Ki Ageng Mangir adalah misteri sejarah Jawa. Angin itu mampu berhembus halus hingga tak terjaring, bagitu juga kisah Ki Ageng Mangir selalu saja mengalir dari mulut ke mulut manusia Jawa dengan sangat halus yang tak mungkin di disaring-saring demi kepentingan politis atau apapun. Seperti halnya keberadaan angin yang tak mungkin dibatasi pada satu tempat , kisah Mangir mengalir sesuai situasi dan keadaan masyarakat penutur. Kapan penuturan itu mulai terjadi tak ada yang bisa membuktikan secara persis, pada kenyataaannya, ada kisah Ki Ageng Mangir yang selalu hidup di masyarakat. Termasuk dalam tradisi tutur, misteri tragedi Ki Ageng Mangir selalu saja mengundang pembicaraan.
Masyarakat Jawa menganggap Ki Ageng Mangir adalah tokoh sejarah yang legendaris. Dan mungkin saja, Ki Ageng Mangir adalah pahlawan, seperti halnya Pangeran Diponegoro adalah pahlawan buat Bangsa indonesia dan pemberontak buat pemerintah kolonial pada waktu itu.
Sebenarnya, Mangir sendiri adalah nama sebuah tanah perdikan, sedangkan nama asli Ki Ageng Mangir adalah Ki Ageng Wanabaya yang menjadi tokoh lokal pada tanah perdikan Mangir.
Menyebut nama Mangir tak bisa dipisahkan dari nama Pembayun, putri Panembahan Senopati. Pembayun yang dijadikan penjerat Mangir sebagai musuh Mataram akhirnya justru menjadi istri Mangir. Dengan menyamar sebagai penari ledhek, pengamen keliling, hati Mangir yang kokoh sinatria bertekuk lutut dalam pelukan cinta Pembayun. Begitu sebaliknya. Itulah kisah Ki Ageng Mangir, kisah hati yang semula musuh akhirnya menjadi cinta asmara.
Kisah Mangir adalah kisah kekuasaan sekaligus kisah tragedi asmara. Karena dua hal alasan itulah tokoh Mangir adalah menjadi sangat misteri bagai teka teki sejarah. Akhir hidupnya Ki Ageng Mangir mengundang derai air mata. Karena jiwanya harus pergi meninggalkan raga lantaran asmara dengan Pembayun , putri musuh bebuyutan, Panembahan Senopati. Dari kisah asmara Mangir dan Pembayun yang sering menarik perhatian masyarakat Jawa adalah kisah Permbayun menjadi penari ledhek, pengamen keliling dengan menari yang diikuti oleh sejumlah tokoh Mataram yang menyamar dengan nama-nama sandi.
Dalam penuturan lisan yang berkembang, ada empat orang dari generasi yang berbeda yang menggunakan nama Ki Ageng Mangir, yaitu Ki Ageng Mangir I atau Ki Ageng Wanabaya I, Ki Ageng Mangir II atau Wanabaya II, Ki Ageng Mangir III atau Wanabaya III dan terakhir Ki Ageng Mangir IV atau Wanabaya IV, seperti dituturkan oleh Amiluhur Suroso, seorang yang menyatakan dirinya adalah keturunan Ki Ageng Mangir.
Tetapi ada sumber lain yang menegaskan hanya ada dua tokoh yang dikenal sebagai orang yang bergelar Ki Ageng Mangir Wanabaya, yaitu Ki Ageng Mangir Wanabaya I dan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Yang terakhir juga disebut sebagai Ki Ageng Mangir Wanabaya muda. Pendapat kedua dijelaskan oleh Pramudya Ananta Toer dalam bukunya Drama Mangir.
Yang pertama memberikan penjelasan tambahan bahwa ada empat makam untuk masing-masing Ki Ageng Mangir tersebut. Yaitu : Ki Ageng Mangir I dimakamkan di Alas Ketangga-Ngawi, yang ke II di Paliyan-Gunung Kidul, yang ke III di Makam Sewu-Bantul dan yang ke IV di Sorolaten-Sleman.
Sementara ada pendpat ke tiga yang dilontarkan oleh Sugeng Pramono dalam bukunya Ki Ageng Mangir, ada tiga Ki Ageng Mangir, yaitu Mangir I, II dan III.
Dari tokoh tersebut yang dianggap legendaris oleh masyarakat Jawa adalah Ki Ageng Mangir IV atau Mangir muda karena kematiannya di tangan Panembahan Senopati yang juga mertuanya sendiri.
Tidak heranlah jika hingga kini tiga nama sejarah Jawa, yaitu Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir dan Pembayun, sama-sama tak lekang ditelan jaman. Seakan Mangir adalah lambang tokoh cinta kemerdekaan dan Senopati adalah tokoh sejarah yang hendak menegakkan derajat bangsa Mataram, Mataram Raya yang satu, besar dan jaya. Sementara, Pembayun adalah tokoh romantis yang membawa cinta dan dendam hingga dibawa mati.
Ada monumen-monumen sejarah yang menjadi saksi bisu sehingga masyarakat mengenang terus tragedi Ki Ageng mangir. Di antaranya sebuah makam yang berada makam raja-raja di Kota Gede, Yogyakarta yang dianggap makam Ki Ageng Mangir muda. Juga, batu gilang yang berada di dekat pemakaman Kota Gede, termasuk pula sendang di Kasihan Bantul yang juga disebut Sendang Kasihan. Nama desa mangir sendiri yang berada di wilayah Bantul selatan, desa nan asri. Belum lagi banyak buku-buku sejarah soal Ki Ageng Mangir juga menjadi monumen sejarah soal perseteruan Mangir-Senopati. Lebih kontroversi lagi adalah keberadaan pusaka Ki Ageng Mangir yang disebut Kyai baru Klinthing dan Kyai Baru Kuping dengan legendanya menjadi mercusuar sejarah soal Mangir.
Namun sekali lagi, meski banyak fakta sejarah yang mendukung soal adanya perseteruan Mangir dan Senopati, hingga sekarang tetap saja terdapat beberapa pertanyaan yang tak pernah ada jawaban pasti. Pertanyaan itu bagai teka-teki soal Mangir, Seperti misalnya, benarkah Mangir muda dibunuh Senopati dengan cara menghempaskan kepala Mangir di atas batu gilang ataukah dibunuh oleh Pangeran Purubaya yang juga sebagai saudara iparnya dengan cara menusukkan tombak atau sebilah keris atas perintah Senopati. Pertanyaan lain, dimanakah sebenarnya tempat pemakaman Ki Ageng Mangir itu sendiri? Dan juga menjadi misteri adalah mengenai temapat dimana senjata pamungkas Mangir yang sakti yang disebut sebagai Kyai Baru Klinthing dan Baru Kuping itu berada. Pertanyaan tak kalah menarik adalah dimana makam Pembayun yang telah menjadi istri Mangir yang juga putra sulung Panembahan Senopati itu. Hanya saja, teka-teki Mangir ini tampaknya akan selalu menjadi misteri abadi.
Suatu kesimpulan yang juga bersifat pembelaan atas tragedi Mangir, akankah Mataram raya terwujud tanpa ada penundukan Ki Ageng Mangir yang akhirnya menjadi korban sejarah. (Uung).






Korban Cita-cita Mataram Raya

AWAL kisah Mangir bermula dari terjadinya perubahan kekuasaan di tanah Jawa. Tenggelamnya kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Kerajaan Pajang dan digantikan cahaya kekuasaan Panembahan Senopati di Kraton Mataram menerbitkan cita-cita besar, Mataram Raya seperti halnya Nusantara Jaya di jaman Majapahit dibawah Hayamwuruk-Gadjah Mada.
Cita-cita Mataram Raya pada benak Panembahan Senopati sebagai pemula Kerajaan Mataram Islam mengharuskan banyak tokoh bupati di wilayah Jawa Tengah hingga Jaw Timur seperti bupati Pati, Jepara, Kudus, Tuban hingga Blambangan di ujung timur Jawa ini haruslah tunduk dibawah panji Mataram. Begitu pula tanah perdikan di Desa Mangir dengan pimpinan tokoh lokal yang sangat berpengaruh dan sakti yang oleh masyarakatnya disebut Ki Ageng Mangir.
Tanah Perdikan Mangir sendiri bukan wilayah yang baru saja muncul, tanah perdikan yang merupakan wilayah yang dibebaskan membayar pajak telah ada sejak pemerintahan Majapahit. Perdikan Mangir saat itu dibawah Ki Ageng Wanabaya I yang kemudian dikenal dengan Ki Ageng Mangir I. Setelah Pemanahan bersama danang Sutowijaya berhasil mengalahkan Aryo Penangsang dari Kadipaten Jipang-Panolan, Sultan Hadiwijaya berkenan memberikan alas mentaok yang juga menjadi tanah perdikan dibawah pimpinan Ki Ageng Pemanahan yang kemudian dikenal dengan Mataram.
Kadipaten Mataram inilah yang kemudian menjadi Kerajaan Mataram setelah kerajaan Pajang surut dengan meninggalnya Sultan Hadiwijaya. Bersmaan dengan cita-cita Mataram Raya dibawah Panembahan Senopati, tidak jauh dari ibukota Mataram yang pada waktu itu berada di Kota Gede (berjarah 30 km ke arah selatan), Kadipaten Mangir masih bersiwat istimewa sebagai daerah perdikan, daerah merdeka. Tentu saja ini tidak bisa dibiarkan untuk terwujudnya Mataram Raya. Mangir harus tunduk dibawah Senopati.
Dengan niat penguasai seluruhnya tanah Mataram dan janji pada Jaka Tingkir, Ki Ageng Pemanahan ingin menaklukkan Mangir yang diteruskan oleh keturunannya yaitu Sutawijaya atau Panembahan Senopati yang selanjutnya mendirikan Kraton di Kota Gede atau Sargede. Pertempuran demi pertempuran pun tak terelakkan lagi, namun Panembahan Senopati tak kunjung berhasil melumpuhkan Ki Ageng Wanabaya yang mempunyai senjata sangat sakti, yakni Tombak Baruklinting dan Baru Kuping
Meski kekuasaan perdikan Mangir telah beralih pada turunan Ki Ageng Wanabaya I sampai dengan Ki Ageng Wabaya IV, prinsip merdeka dan tak mau menyembah Senopati tetap kukuh tertanam di darah Ki Ageng Mangir IV. Tetapi mengapa kemerdekaan Perdikan Mangir berlangsung lama hingga empat generasi? Karena Ki Ageng Mangir memiliki pusaka yang sangat sakti yang disebut Kyai Baru Klinthing dan Kyai Baru Kuping. Agaknya pusaka andalan Mataram yang disebut Kyai Pleret tak mampu mengalahkan.
Akhirnya ditempuhlah politik seksual, yaitu mengumpankan putri panembahan Senopati yang berparas cantik untuk memikat hati Ki Ageng Mangir muda, Ki Ageng Mangir IV. Untuk bisa memikat hati Ki Ageng Mangir IV ini Putri Pembayun haruslah menjadi penari ledek yang mbarang turut desa, Tugas menjadi ledek pemikat hati mangir diawali mandi Sendang Kasihan yang sekarang berada di wilayah Kecamatan Kasihan-Bantul.
Sejarah Mangir mengkisahkan, siasat seksual itu membawa hasil. Ki Ageng Mangir IV akhirnya mencintai Pembayun hingga Pembayun mengandung benih Mangir. Cinta mangir inilah yang juga mengantar kepala Mangir pada batu gilang dibawah singgasana Senopati yang berujung pada kematian Ki Ageng Mangir IV yang disaksikan Pembayun. Menurut versi Pramudya Ananta Toer dalam bukunya “Drama Mangir”, Mangir meninggal karena dibunuh oleh Pangeran Purubaya, saudara ipar Ki Ageng Mangir karena saudara seayah lain ibu dengan Pembayun (Pangeran Purubaya adalah anak Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Giring)



Denting Dawai Cinta Mangir- Pembayun

Siasat politik perang pamungkas pun dilancarkan untuk melumpuhkan kekuatan Mangir. Adalah Retno Pembayun putri Panembahan Senopati sendiri sebagai senjata penakluk yang menyamar menjadi ledhek/Tayub atau penari keliling hingga sampai di Mangir dan bertemu dengan Ki Ageng Wanabaya. Ternyata pertemuan itu membuat Ki Ageng Wanabaya dan Retno Pembayun saling memadu denting dawai cinta, hingga akhirnya sepasang kekasih tersebut menikah.
Pada saat Ki Ageng Wanabaya bertemu dengan Retno Pembayun, mereka menyanyikan sebuah kidung:
Duh Pembayun / Pudyanku wong kuning/Cahyane mancorong/Gandhes luwes kenes wicarane/
Dhuh kakang paduka pundhen mami / Kawula sayekti bekti marang kakung//...
Rasa cinta Pembayun pada Ki Ageng Wanabaya begitu besar sehingga Ia tidak tega untuk membohongi suaminya bahwa Ia adalah putri Panembahan Senopati yang merupakan musuh bebuyutan sekaligus mertua Ki Ageng Wanabaya. Ki Ageng Wanabaya sempat berang, marah, dan dendam hingga berniat membunuh pembayun. Ki Ageng Giring tak tega. Bahkan lebih jauh, Pembayun berhasil mengajak Ki Ageng Wanabaya menghadap (sungkem) Panembahan Senopati, ayah mertuanya, di kraton kota Gede. Tetapi dengan syarat harus dikawal sepasukan lengkap.
Sesampainya di Kota Gede, Panembahan Senopati telah menunggu di atas Singgasana Kerajaan. Namun ketika Ki Ageng Wanabaya bersimpuh di hadapan mertuanya, Panembahan Senopati membenturkan kepala Ki Ageng Wanabaya pada batu gilang tempat Panembahan Senopati menaruh kaki hingga batu gilang legok. Akhirnya Ki Ageng Mangir meninggal di hadapan Panembahan Senopati dan Retno Pembayun.


Dalam cerita tutur yang lain dikisahkan bahwa ketika Ki Ageng Mangir dan Pembayun yang sangat cantik menghadap Panembahan Senopati, Kyai Baruklinting dan Kyai Barukuping dilepas. Sebab menghadap raja tidak boleh membawa senjata. “Ki Ageng Mangir ditombak Kyai Pleret sebagai pengageng bukan di watu gilang, secara logika tidak mungkin sekeras-kerasnya orang membenturkan kepala langsung meninggal.” Menurut putra pertama dari tiga bersaudara putra Alm. Suroso ini.
Ki Ageng Mangir dimakamlan di Kota Gede, separuh makamnya berada di luar Bangsal Prabayaksa dan separuhnya di dalam. Bangsal Prabayaksa merupakan bangunan berdinding tembok, di dalam bangsal ini terdapat 72 makam yang dibuat dengan bahan marmer berwarna putih, yaitu antara lain makam Panembahan Senopati, Sultan Sedo Krapyak, Sultan Sepuh, Pangeran adipati Pakualam I, ki Ageng Mangir, PA II, PA III, dan PA IV.
Makam di Kotagede hanya bagian politis dan itu kosong. Panembahan Senopati ingin mengatakan pada rakyat bahwa ini anak saya, sebagian adalah taklukan saya. Karena sebagai anak dan musuh karenanya makam di Kota gede terpisah.
Menurut sumber setempat Ganjuran juga pernah menjadi tempat pengasingan pasangan kekasih Ki Ageng Mangir Wanabaya dengan Rara Pembayun. Peristiwa percintaan semacam Romeo-Juliet ini dipercaya mengilhami Keraton Mataram untuk menciptakan sebuah gending sakral yang dinamakan gending Kala Ganjur.
Istilah Kala Ganjur ini dipercaya pula menjadi cikal bakal penamaan dusun Ganjuran yang secara administratif terletak di Kalurahan Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul.
Kisah percintaan Ki Ageng Mangir dengan Retno Pembayun menurut beberapa orang sangat bernuansa politis, namun itulah cikal bakal berdirinya Mataram Islam pada akhir abad XVI. Memang cerita Mangir ini ada beberapa versi dalam cerita tutur dan babad, seringkali dijadikan kisah/lakon dalam kethoprak. Misteri Mangir yang masih menyimpan misteri ini disebabkan penduduk Mangir sendiri dilarang membaca babad Mangir karena tidak kuat.
Menurut Subakri, babad Mangir yang asli sekarang berada di Negeri Belanda dan tidak semua orang sanggup membacanya. Sehingga cerita Mangir hanya berada pada cerita tutur rakyat Jawa. Namun bergabungnya Mangir dalam Mataram merupakan cikal bakal berdirinya Indonesia. Apabila Mangir yang dianggap sebagai klilip tidak bergabung dengan Mataram, maka perjanjian Gianti dan nama besar Mataram tidak akan ada dalam sejarah. (Untung)























Silsilah Mangir

Trah Mangir ini dalam babad diceritakan berasal dari Brawijaya terakhir (V) yang berputra Radyan Alembumisani. Alembumisani ini melarikan diri dari Majapahit ke arah barat bersama istrinya. Kemudian dia mempunyai seorang putra yang diberi nama Radyan Wanabaya. Radyan Alembumisani meninggal di daerah Gunungkidul. Radyan Wanabaya inilah yang kemudian tinggal di Mangir sehingga ia terkenal dengan nama Ki Ageng Mangir Wanabaya (Mangir I).
Ki Ageng Mangir Wanabaya I menurunkan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Mangir I juga mempunyai istri (selir), putri dari Demang Jalegong. Konon dari rahim Rara Jalegong ini lahir seorang anak yang berupa ular/naga (demikian disebut-sebut dalam babad dan cerita tutur). Anak yang kelak terkenal dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tombak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.
Jadi, Ki Bagus Baruklinting adalah saudara tiri dari Mangir II dan paman dari Mangir III. Mangir III ini pula yang kelak hidupnya tidak pernah berpisah dengan tombak Kiai Baruklinting. Demikian, Babad Mangir menceritakan. Nama baru sendiri dalam dunia tosan aji (senjata logam) menjadi nama salah satu dhapur.

“Namun menurut keluarga kami, Panembahan Senopai mengutus Demang Tangkil membawa Jenazah Mangir ke Sebaran daerah Purwokerto. Ditengah jalan ditanya orang “membawa jenazah mau dibawa kemana?” “Mau ke Sebaran”, jawab Demang Tangkil. Orang tersebut berkata lagi “Nah Sebaran itu sini”. Maka mangir Wanabaya dimakamkan di Sebaran Godean yang secara fisik masih ada. Disebelahnya ada batu nisan panjang sebagai makam kuda tunggangan Mangir yang mencari tuannya.” Imbuh keturunan ke-IV Prawiroharjo ini.
Selanjutnya Demang Tangkil pulang menghadap Panembahan Senopati. Kemudian oleh Panembahan Senopati bertanya “Loh cepat sekali pulang? Demang Tangkilan menjawab “Sudah dilaksanakan di Sebaran Godean.” Ternyata pekerjaan Demang Tangkilan tidak sesuai dengan perintah raja, maka Demang Tangkil dibunuh di alas Bering (sekarang Beringharjo).
Sedangkan Pembayun diserahkan pada Ki Ageng Karanglo sampai melahirkan anak. Anak tersebut kemudian bernama Bodronoyo. Panembahan Senopati sempat berpesan untuk membunuh anak Ki Ageng Mangir tersebut apabila melahirkan anak laki-laki dan bila perempuan harus dibuang. Untuk keselamatan jabang bayi, maka Bodronoyo dilarikan ke arah barat, persisnya di daerah Banyumas.
Masih menurut Keturunan Ki Ageng Mangir ini berkata: “Setelah Bodronoyo besar menjadi gamel (pengurus kuda) yang secara otomatis dekat denga raja. Suatu saat membalas perbuatan Panembahan Senopati pada ayahnya dengan membunuh Panembahan Senopati. Bodronoyo kembali lari ke Banyumas dan dimakamkan di sana yang makamnya dikramatkan oleh masyarakat setempat.”
Dari sana keluarga terpecah menjadi dua karena domisili. Keluarga yang tinggal di Banyumas menjadi Adipati Banyumas dengan marga Kolopaking (kelopo akeng). Dan sebagian lagi kembali ke tanah Mataram memakai marga Prawiroharjo. Silsilah keturunan Ami Luhur Soeroso sendiri adalah dari keluarga Prawiroharjo I, dan Prawiroharjo I makamnya terletak di Gunung Brejo Godean. Kemudian dia mempunyai anak Prawiroharjo II seorang Bupati Keraton dengan gelar Rio yang dimakamkan di Gunung Tambalan. Namun tidak ada Prawiroharjo III langsung turun ke silsilah Prawiroharjo IV yaitu Soeroso Hadisuwarno Prawiroharjo yang tidak lain adalah Ayah dari Ami Luhur Soeroso.
Mengenai keberadaan kedua tombak pusaka milik Ki Ageng Mangir Wanabaya memang keberadaannya tidak diketahui sampai sekarang. Ami hanya menuturkan bahwa Tombak Barukuping dibawa pengawal Mangir ke Jawa Timur dan Baruklinting ke daerah Barat. Menurut konon cerita bahwa pada suatu saat yang tepat kedua pusaka akan dipersatukan.
Soal kematian Ki Ageng Mangir, ada versi lain. Menurut Pramudya Ananta Toer dalam bukunya, Ki Ageng Mangir meninggal karena ditusuk keris tombak Kyai Pleret. (UNTUNG)


































Kontroversi Makam Ki Ageng Mangir Wanabaya
(Mengungkap Keberadaan Makam KI Ageng Mangir Saralaten)


MALAM sunyi di pemakaman desa Saralaten. Tak ada pejiarah yang datang di pemakaman yang belum banyak diketahui umum sebagai pemakaman tokoh legendaris, Ki Ageng Mangir. Bangunan makam itu sendiri sebenarnya sudah memberikan pertanda bahwa makam itu bukan makam orang sembarangan. Apalagi jika orang bertanya pada penduduk setempat, penduduk Saralaten yakin bahwa makam yang ada di pemakaman tersebut adalah pemakaman Ki Ageng Mangir yang dibunuh oleh Panembahan Senopati . Ini merupakan salah satu sisi lain perihal kepastian dimana makam Ki Ageng Mangir.
Di lain pihak ada fakta sejarah yang menarik soal pemakaman Ki Ageng Mangir. Di pemakaman raja-raja Mataram di Kota Gede, tepatnya di bangsal prabayasa terdapat makam yang dinyatakan sebagai makam Ki Ageng Mangir. Pemakaman ini sangat misteri dan unik. Sebab sebagian batu nisan berada di dalam gedung pemakaman dan sebagian berada di luar gedung pemakaman. Menurut penjelasan para abdi dalem yang menjaga di Pemakaman Kota Gede, keanehan letak batu nisan itu merupakan peringatan bahwa Ki Ageng Mangir sebenarnya adalah musuh tetapi sekaligus menantu Panembahan Senopati.
Bangsal Prabayaksa merupakan bangunan berdinding tembok, di dalam bangsal ini terdapat 72 makam yang dibuat dengan bahan marmer berwarna putih, yaitu antara lain makam Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Sultan Sedo Krapyak, Sultan Sepuh, Pangeran Adipati Pakualam I, Paku Aalam II, Paku Alam III, dan Paku Alam IV.
Sedangkan Pembayun sendiri pada akhirnya diserahkan oleh Panembahan Senopati kepada Ki Ageng Karanglo yang menjadi penasehat dan pengusul srategi melumpuhkan Ki Ageng Mangir lewat Pembayun itu.
Seiring berjalannya waktu yang sekaligus diikuti oleh perubahan jaman, ternyata, monumen bersejarah yang berupa makam di pemakaman Kota Gede itu tidak begitu saja memberikan keyakinan pada masyarakat bahwa memang di pemakaman itulah jasad Ki Ageng Mangir dimakamkan. Dari cerita mulut ke mulut beredarlah berita, jasad Ki Ageng Mangir tidak dimakamkan di Pemakaman Kota Gedhe tetapi di lain tempat yang sangat dirahasiakan oleh penguasa Kerajaan Mataram pada waktu itu, Panembahan Senopati.
Pemakaman di makam Kotagede itu hanyalah pemakaman politis. Sehingga, peristiwa atas pembunuhan putra menantu sendiri oleh Raja Mataram itu kelihatan sah. Panembahan Senopati pun merasa sah pula mengakui musuhnya sebagai menantu.
Dikisahkan, ketika Ki Ageng Mangir dan Pembayun sempat mendapatkan buah hati yang masih dalam kandungan. Tetapi tidak jelas nasib bayi yang berada dalam kandungan Pembayun. Panembahan Senopati hanya berpesan untuk membunuh anak Ki Ageng Mangir tersebut apabila melahirkan anak laki-laki dan bila perempuan harus dibuang.
Rentang waktu yang panjang seiring dengan surutnya kekuasaan mutlak Tahta Mataram membuat rakyat kecil, termasuk keturunan Ki Ageng Mangir berani menyampaikan keyakinannya tentang keberadaan makam Ki Ageng Mangir. Jasad Ki Ageng Mangir dimakamkan di sebuah dusun yang kini dikenal sebagi Dusun Saralaten, Kelurahan Sidakarta, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman. Posisi makam ini sekitar 7 km ke arah barat dari pusat kota Yogyakarta.
Mendengar letak pemakaman jasat Ki Ageng mangir tersebut, pastilah timbul teka-teki yang melekat pada masyarakat pecinta sejarah dan legenda Jawa, mengapa makam Ki Ageng Mangir bisa berada di Dusun Saralaten. Dan apakah makam di Dusun Saralaten tersebut benar-benar merupakan makam Ki Ageng Mangir yang dibunuh oleh Panembahan Senopati tersebut?
Informasi yang lengkap memang tidak dapat diperoleh tentang “salah satu” makam Ki Ageng Mangir yang ada di Sarolaten tersebut. Selain tidak adanya catatan sejarah (babad) yang menceritakan hal itu, dikarenakan juga sesepuh yang mengetahui secara mendalam hal tersebut sudah meninggal sejak 2000 yang lalu dan belum ada penggantinya hingga saat ini.
Tetapi untunglah Budi Sugeng Raharja (40), salah seorang anak Alm. Madiyo Wiyono (sesepuh makam yang sudah meninggal) mau memberi penjelasan pada Tamansari. “Kalau sesepuh makamnya adalah bapak saya tapi sudah meninggal. Sedang juru kuncinya Mas Parji. Tugasnya berbeda, karena tugas juru kunci kalau disini hanya membersihkan dan merawat makam mas”, ujar Budi Sugeng Raharjo mengawali pembicaraan.
Diceritakan oleh Sugeng (berdasar cerita dari bapaknya) bahwa makam yang dipercaya sebagai makam Mangir tersebut ditemukan tahun 1971. Penemunya adalah R. Warno Pramujo, warga Gamelan Lor Yogyakarta. Pada saat ditemukan, makam itu hanya berupa gundukan tanah dengan tumpukan batu yang di sekelilingnya tumbuh ilalang yang tinggi dan ditutupi rimbunnya daun pohon bamboo.
Tapi tidak diketahui juga secara pasti bagaimana cara membuktikan bahwa itu makam Ki Ageng Mangir. “Memang disekitar makam Mangir itu juga ada beberapa makam tua dengan nisan kuno, tapi warga disini juga tidak ada yang tahu itu makam siapa?”, lanjut Sugeng.
Sedang ikhwal penemuan makam itu, Budi Sugeng sendiri juga tidak tahu secara pasti. “Waktu itu saya masih kecil. Saya tahunya juga dari bapak”, terang karyawan swasta ini. Dikisahkan bahwa R. Warno adalah seorang yang gemar laku batin. Ritualnya ditempuh dengan jalan kaki ke makam-makam keramat. Pada waktu beliau sedang tirakat di sebuah makam tua yang dikatakan masih trah Majapahit, beliau mendapat bisikan. Intinya agar mencari makam Ki Ageng Mangir. Tidak dikatakan dimana tempatnya, hanya diberi petunjuk tentang arah makam tersebut.
Setelah makam itu ditemukan, selanjutnya oleh R. Warno Pramujo makam itu dibangun. Makam yang dahulunya penuh ilalang, sejak 17 Maret 1972 (1 Sapar 1904) menjadi makam yang cukup apik. Sedang makam yang ada disekitarnya tetap dibiarkan apa adanya hingga sekarang.
Bangunan makam terdiri dari 2 ruang. Ruang utama terdapat makam Mangir, sedang samping timurnya yang hanya terhalang tembok adalah makam R. Warno Pramujo (penemu sekaligus sesepuh makam yang pertama) yang meninggal tahun 1983. Lebih lanjut diceritakan oleh Sugeng, makam itu biasa ramai dikunjungi tiap malam Kamis Legi. Peziarah yang datang kebanyakan orang yang memiliki hajat, tapi belum terkabul. Mereka datang dari berbagai daerah. “Bahkan banyak yang datang dari luar Jawa. Bahkan orang-orang penting pun kerap kemari, namun siapanya tidak etis kalau disampaikan”, kata Sugeng.
Anehnya kebanyakan yang datang adalah warga tionghoa. Masih menurut Budi Sugeng, banyak dari peziarah yang berhasil setelah prihatin dimakam tersebut. Kebanyakan yang ingin berhasil dalam hajatnya membawa pasir yang ada diatas makam itu untuk keselamatan. Pasir tersebut memang disediakan oleh juru kunci untuk kepentingan peziarah. Sedangkan larangan yang harus ditaati oleh peziarah di makam itu diantaranya tidak sombong, tidak bicara kotor dan harus melepas alas kaki ketika memasuki ruang makam.
Pernah ada peziarah yang sombong. Dia mengaku jagonya puasa dan ingin puasa di makam itu selama 7 hari 7 malam. Ternyata baru 1 hari puasanya sudah “badar”. Dia mengaku sudah tidak kuat lagi dan berhenti.
Peziarah yang boleh dikatakan berhasil tidak harus ditemui wewujudan apapun. “Hanya orang yang kebatinannya tinggi yang bisa “ketemu” dengan Ki Ageng Mangir. Itu cerita dari para peziarah yang punya kebatinan tinggi. Percaya atau tidaknya cerita itu terserah, karena memang tidak bisa dibuktikan secara nyata”, imbuhnya. Dikisahkan pula, pernah ada peziarah yang tertarik pada Ki Ageng Mangir. Kemudian dia tirakat di makam Kotagede. Namun setelah beberapa hari tidak menemui apa yang dicari. Setelah itu dia tirakat di makam Mangir Saralaten. Baru sebentar, dia mengaku ditemui Ki Ageng Mangir. Karenanya orang itu percaya kalau itu makam Mangir yang asli. “Banyak yang cerita seperti itu. Bahkan banyak masyarakat Dusun Mangir yang percaya dan ziarah kemari, bukan ke Kotagede”, jelas anak kedua dari 2 bersaudara ini. Sedang masyarakat sekitar makam rata-rata mengaku senang dengan keberadaan makam itu. Walaupun belum pernah ada kejadian ganjil, hanya saja dahulu waktu belum ditemukan, tempat itu terkenal angker. Banyak warga yang sering melihat macan ditempat itu. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi.
Waktu jaman penjajahan dahulu juga tidak ada warga makam yang menderita akibat kekejaman penjajah. Padahal makam itu belum ditemukan, belum seperti sekarang ini. Karenanya, masyarakat sekitar selalu mengadakan acara tahunan Yassinan dan Tahlilan di makam Mangir itu untuk selamatan. “Tujuannya untuk mendoakan Ki Ageng Mangir Wanabaya dan mohon kepada Allah agar masyarakat sekitar diberi keselamatan lahir dan batin”. Pungkas Budi Sugeng Raharjo mengakhiri pembicaraan.
Cerita tutur lainya menyebutkan bahwa Ki Ageng Mangir memang masih keturunan Majapahit. Ki Ageng Mangir I tinggal di Alas Ketonggo yang sampai sekarang masih ada perkumpulan Mangir, Ki Ageng Mangir (Bondan Surati) II tinggal di Paliyan Gunungkidul, Ki Ageng Mangir III tinggal di Gunung Buthak Bantul, dan Ki Ageng Mangir IV tinggal di Dusun Mangir.
Ki Ageng Mangir Wanabaya I menurunkan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Mangir I juga mempunyai istri (selir), putri dari Demang Jalegong. Konon dari rahim Rara Jalegong ini lahir seorang anak yang berupa ular/naga (demikian disebut-sebut dalam babad dan cerita tutur). Anak yang kelak terkenal dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tombak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru. Jadi, Ki Bagus Baruklinthing adalah saudara tiri dari mangir II dan paman dari Mangir III. Mangir III ini yang tak pernah lepas dari tombak Kiai Baruklinthing. (Untung/Febriyanto)













Antara Dusun Mangir Dan Dusun Mangiran

DUSUN Mangir kini. Suasana perkampungan bersejarah itu asri, damai, tentram jauh. Seakan tak lagi sebagai perkampungan tetapi lebih terasa sebagai perdesaan yang masih melukiskan suasana hampir lima ratus tahun lalu. Lebih dari kesan asri dan damai, kesan yang lekat pada Dusun Mangir adalah kesan mistisnya.
Lingkungan sosialnya terasa masih sangat tradisional. Kaum lelaki Dusun Mangir adalah petani di sawah. Kini mereka sedang menerima anugerah panen raya. Sementara para ibu Dusun Mangir lebih memilih tinggal di rumah mengasuh anak-anak dan mengatur rumah tangga. Terasa penuh keaktifan, Demikian pula kaum manula yang telah uzur seakan tak mau begitu saja membebani hidup anak cucunya, mereka tetap aktif melaklukan segala kegiatan rumah tangga meski hanya membersihkan pekarangan.
Dusun Mangir sendiri terletak kurang lebih 30 km di sebelah selatan Yogyakarta, tepatnya di Desa Sendangsari Kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul, Propinsi D.I. Yogyakarta. Srcara administratif, Dusun Mangir sekarang terbagi menjadi tiga, yaitu Mangir Lor, Mangir Tengah, dan Mangir Kidul.
Dusun Mangir ini dusun bukan sembarang dusun, Dusun Mangir adalah dusun yang mempunyai nilai sejarah sangat tinggi dan menyimpan berbagai situs kebudayaan. Di antara situs kebudayaan di Mangir adalah batu gilang petilasan Ki Ageng Wanabaya atau Ki Ageng Mangir, Kebo Jerum sebagai kendaraan Dewa Siwa, dan sisa-sisa bata bangunan keraton Mangir. Batu bata sisa bangunan keraton ini konon dipercaya dapat menyebabkan rusaknya hubungan rumah tangga, apabila sampai dibawa pulang ke rumah.






Kisah Kyai Baru Klinthing – Kyai Baru Kuping

DEMIKIAN, Babad Mangir menceritakan. Nama baru sendiri dalam dunia tosan aji (senjata logam) menjadi nama salah satu dhapur.
Dalam cerita rakyat dipercaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah naga yang berubah wujud menjadi tombak pusaka (Kiai Baruklinting). Akan tetapi apabila dinalar tentulah hal ini menjadi muskil. Perkawinan Ki Ageng Mangir I dengan Rara Jalegong tentu saja melahirkan seorang bayi manusia pula (bukan ular naga). Memang, cerita dalam babad/cerita tutur sering berisi hal-hal yang tidak wantah (terus terang), banyak dibumbui cerita-cerita yang berbau mitos, sandi, sanepa ‘perumpamaan/teka-teki’, dan legenda sehingga cukup sulit diterima nalar begitu saja dan harus ditelaah dengan penafsiran.
Misteri Ki Bagus Baruklinting sampai sekarang ini masih kontroversial. Sebagian orang meyakini bahwa dia adalah benar-benar naga. Akan tetapi sebagian orang percaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah benar-benar manusia biasa. Paling tidak Pramudya Ananta Toer mempunyai versi yang terakhir ini.
Hanya saja karena ia lahir dari rahim seorang wanita yang sebenarnya tidak dinikah, maka dalam cerita babad ia digambarkan sebagai ular/naga dan seolah-olah tidak diakui sebagai anak oleh Mangir I. Barangkali hal ini ditempuh penulis babad untuk tidak terlalu memberi efek negatif bagi dinasti Ki Ageng Mangir maupun Rara Jalegong sendiri.
Kesaktian tombak Ki Baruklinting yang diceritakan demikian luar biasa ini barangkali sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kisah hidup Ki Bagus Baruklinting sendiri. Dalam babad diceritakan bahwa tombak Kiai Baruklinting senantiasa disanding oleh Ki Ageng Mangir. Bahkan setiap Ki Ageng Mangir berdekatan dengan Pembayun tombak ini bersuara (berkokok). Apa yang disuarakan tombak ini sebenarnya dapat dipandang sebagai simbol bahwa Ki Baruklinting memperingatkan agar Ki Ageng Mangir selalu berhati-hati terhadap Pembayun.
Tidak aneh kalau kemudian pada gilirannya bahwa tombak Kiai Baruklinting ini dibungkam/dilumpuhkan oleh Pembayun dengan kembennya. Pelumpuhan itu dilakukan dengan membungkam bilah tombak tersebut dengan kemben milik Pembayun. Namun menurut Ami Soeroso sejatinya pusaka yang dimiliki lelakilah yang hilang kesaktiannya tidak lain adalah kelamin laki-laki, bukan pusaka Baruklinting. Sebab jika pusaka diluluri minyak jrupa akan hilang kesaktiannya
Dalam versi yang berbeda pusaka Tombak Baruklinting bukanlah terbuat dari lidah naga. “Kedua tombak milik Ki Ageng Mangir (Kyai Baruklinting dan Kyai Barukuping) adalah pusaka yang telah ada di jaman Majapahit. Artinya tidak dibuat pada masa Mangir ke-IV. Itukan semacam pataka, dan tidak pernah memakan darah.” Kata Ami Luhur Soeroso.
Dalam cerita rakyat dipercaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah naga yang berubah wujud menjadi tombak pusaka (Kiai Baruklinting). Akan tetapi apabila dinalar tentulah hal ini menjadi muskil. Perkawinan Ki Ageng Mangir I dengan Rara Jalegong tentu saja melahirkan seorang bayi manusia pula (bukan ular naga). Memang, cerita dalam babad/cerita tutur sering berisi hal-hal yang tidak wantah (terus terang), banyak dibumbui cerita-cerita yang berbau mitos, sandi, sanepa ‘perumpamaan/teka-teki’, dan legenda sehingga cukup sulit diterima nalar begitu saja.
Misteri Ki Bagus Baruklinting sampai sekarang ini masih kontroversial. Sebagian orang meyakini bahwa dia adalah benar-benar naga. Akan tetapi sebagian orang percaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah benar-benar manusia biasa. Hanya saja karena ia lahir dari rahim seorang wanita yang sebenarnya tidak dinikah, maka dalam cerita babad ia digambarkan sebagai ular/naga dan seolah-olah tidak diakui sebagai anak oleh Mangir I. Barangkali hal ini ditempuh penulis babad untuk tidak terlalu memberi efek negatif bagi dinasti Ki Ageng Mangir maupun Rara Jalegong sendiri.
Kesaktian tombak Ki Baruklinting yang diceritakan demikian luar biasa ini barangkali sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kisah hidup Ki Bagus Baruklinting sendiri. Dalam babad diceritakan bahwa tombak Kiai Baruklinting senantiasa disanding oleh Ki Ageng Mangir. Bahkan setiap Ki Ageng Mangir berdekatan dengan Pembayun tombak ini bersuara (berkokok). Apa yang disuarakan tombak ini sebenarnya dapat dipandang sebagai simbol bahwa Ki Baruklinting memperingatkan agar Ki Ageng Mangir selalu berhati-hati terhadap Pembayun.
Tidak aneh kalau kemudian pada gilirannya bahwa tombak Kiai Baruklinting ini dibungkam/dilumpuhkan oleh Pembayun dengan kembennya. Pelumpuhan itu dilakukan dengan membungkam bilah tombak tersebut dengan kemben milik Pembayun.
Beteng Mangir yang disebut-sebut sangat sakti hingga batu-batanya dapat membuat crah atau hancurnya hubungan rumah tangga kini telah dibangun dengan bahan bangunan baru. Subakri menceritakan semasa hidup belum pernah melihat beteng Mangir yang asli. Dia hanya menyaksikan pembangunan beteng baru yang dibangun pada 1978 pada pemerintahan Sudarisman Purokusumo. (Untung)



















Sendang Kasihan dan Sejarahnya

DALAM pengembaraannya, Raden Mas Sahid atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kalijaga di tengah perjalanan ditemui sosok misterius yang memberi petunjuk pada beliau. Sosok misterius itu pada intinya memberikan pesan, agar Kanjeng Sunan Kalijaga lebih memperdalam ilmu agamanya. Selain itu, sosok itu juga memberi sebuah tongkat sakti pada Kanjeng Sunan. Tongkat itu bisa digunakan jika suatu saat sangat dibutuhkan, pesan sosok itu.
Ketika Sunan Kalijaga sampai di daerah yang kering, beliau ingin wudhu untuk shalat dan tidak ditemukan air. Lalu teringat dengan tongkat pemberian sosok waktu di perjalanan. Akhirnya beliau berdo’a, memohon kepada Allah dan kemudian menancapkan tongkat itu ke tanah. Do’a Sunan Kalijaga dikabulkan oleh Allah. Dari bekas tancapan itu keluar mata air yang bersih untuk wudhu.
Balutan suasana pedesaan nan asri dan tenang, dengan keramahtamahan penduduknya, menambah daya tarik mata air yang tidak pernah surut sejak memancar pertama kali pada Abad ke- 15. “Tapi dulu baru berupa mata air, belum berwujud sendang seperti saat ini”, ungkap Harjo Broto Sumantri (82), juru kunci sekaligus ahli waris pemilik sendang memulai pembicaraan dengan Taman Sari.
Pak Broto, panggilan akrabnya, saat dijumpai di kediamannya di Dusun Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, juga menjelaskan, jika Sendang Kasihan juga terjalin dalam kisah Sekar Pembayun dan Ki Ageng Mangir. Secara singkat diceritakan, bahwa Perdikan Mangir dianggap musuh oleh Panembahan Senapati. Tapi karena kedigdayaan Ki Ageng Mangir, Patih Mandaraka (Ki Juru Mertani) melarang Raja Mataram itu untuk melawan sendiri. Melalui strategi rantai mas (memikat), Juru Mertani meminta pada Panembahan Senapati agar Sekar Pembayun, putri sulung P. Senapati sendiri, diutus untuk menjadi Penari ledhek (tayub). Perutusan ini dimaksudkan untuk memikat Mangir hingga nantinya tunduk pada Mataram.
Karena “kewaskithaan” Ki Mandaraka yang mengetahui bahwa ada sendang peninggalan Sunan Kalijaga, sebelum berangkat, Pembayun dan rombongan diminta mandi di sendang itu. Konon katanya, setelah mandi di sendang itu wajah Sekar Pembayun yang cantik menjadi semakin cantik. Hingga menimbulkan daya pikat yang luar biasa. Tragisnya, dalam perjalanan kisah memikat hati Mangir, ternyata tidak hanya Mangir yang jatuh cinta, tapi Pembayun ternyata juga jatuh cinta pada Mangir.
Dalam perjumpaan dengan Mangir, saat ditanya perihal orang tuanya oleh Mangir, Pembayun menjawa, dia adalah anak dari Mbok Rondho Kasihan. Itulah pertama kali nama Kasihan disebut, yang kemudian menjadi nama sendang dan nama daerah di sekitarnya. Sedang nama Sendang Pengasihan timbul karena sesaat setelah Sekar Pembayun mandi di sendang muncul daya pikat Pembayun seperti pengasihan.
Kini, seturut perjalanan waktu, terkait kisah Sekar Pembayun itu, dan adanya keyakinan yang hidup bahwa air sendang itu membawa keberuntungan, makin lama makin banyak orang yang datang. Akhirnya, pada tahun 1923 pemilik lahan tempat sendang itu berada, yaitu Nyi Wirodiwiryo merehab tempat itu. Jadi sendang itu milik pribadi. Bukan dimiliki oleh pemerintah. Sedang dana perawatan diperoleh dari uang pribadi dan sumbangan para pengunjung yang merasa hajatnya terkabul.
Dulu mata airnya hanya selebar 4 m. Saat dibangun dan dilebarkan, areal keseluruhan menjadi 1500 m 2. Saat pelebaran sendang, ditemukan 2 buah arca. Diketahui bernama Ganesha, anak Bathara Guru) dan Agastya lambang dari Siwa. Tempat kedua arca itu berada di bwah pohon soka yang telah tua usianya, diperkirakan telah berusia 350 tahun.
“Pembakaran kemenyan Itu hanya untuk pertanda saja. Bukan berarti minta pada arca”, jelas pensiunan seorang pengunjung yang juga pegawai di Yogyakarta. Pohon soka tua itu berbunga kuning, padahal umumnya berbunga merah. Juga ada pohon gayam besar di pinggiran sendang itu. Selain itu ada rumah pengawas dan mushala yang merupakan sumbangan dari pengunjung. Menambah kemistikan tempat itu, di samping selatan juga mengalir Sungai Kontheng yang bermuara di Sungai Bedhog.
Tidak ada hari khusus yang dipercaya untuk laku prihatin di Sendang Kasihan. Kebanyakan pengunjung datang pada Selasa dan Jum’at Kliwon, Sabtu Pahing, Selasa dan Kamis Legi. Pengunjung yang datang dari berbagai daerah. Dari pembicaraan dengan pejiarah diketahui, banyak tokoh yang pernah mengunjungi Sendang Kasihan. Di antaranya Sri Sultan HB IX, Sri Paduka PA VIII, Para artis ibu kotaIbu Megawati. Berbagai macam alasan orang yang datang ke Sendang Kasihan. Ada yang minta keselamatan hidup, berwibawa di depan orang lain, keinginan tercapai, dsb. Ada juga yang datang untuk olah kebatinan dengan “kungkum” (berendam) di sendang. Menurut pak Broto banyak yang berhasil setelah prihatin di tempat itu, tapi jangan lupa bahwa itu semua karena Allah, demikian diingatkannya.
Banyak pengunjung yang sebelumnya tidak tahu Sendang Kasihan tapi bisa sampai ketempat itu. Mereka mengaku mendapat bisikan agar tirakat di Sendang Kasihan. Seperti banyak cerita yang dituturkan pak Broto pada Taman Sari. “Biasanya mereka sedang ada masalah. Lalu mendapat bisikan. Seperti Direktur BPR Rembang kemarin yang baru saja kesini”, ungkap bapak dari saudara kembar Riyani-Riyanti. Tidak ada pantangan di Sendang Kasihan. Asalkan berlaku sopan. Sedangkan syarat yang seyogianya disiapkan oleh pengunjung yang akan tirakat, yaitu kembang setaman, kinang, 2 kembang kanthil, menyan madu 1 buah, “wajib” (uang) seikhlasnya, dan tambahan 1 bungkus rokok kretek.
Para pelaku tirakat akan dituntun oleh Rr. Mujilah Harjo Sumantri.”Istri saya hanya sebagai syarat pengabsah saja. Sedang niat, keyakinan dan permintaan, pengunjung sendiri yang meminta”, ujar bapak 6 anak ini. Untuk tata cara tirakat, pria kelahiran 1925 ini menyebutkan minimal dengan cuci muka atau mandi. Akan lebih baik jika mau “kungkum” walaupun sebentar, dengan memanjatkan do’a dan permintaan pada Allah. Untuk urutan do’a yang dibaca, menurut Pak Broto pertama ditujukan pada Gusti Allah, Raden Mas Sahid, Panembahan Senapati, Sekar Pembayun, selanjutnya Kyai dan Nyi Soka. Banyak kejadian mistik yang dialami pengunjung, oleh mereka lalu diceritakan pada Pak Broto. Tapi saat dikonfirmasi, Pak Broto sendiri mengaku belum pernah mengalami.
Diceritakan olehnya, ada yang melihat sinar muncul dari tengah sendang saat kungkum. Ada juga yang dilompati seekor naga yang besar saat kungkum (berendam). Bahkan ada yang mengaku ditemui oleh pria tua dengan jubah dan pakaian “ireng wulung” yang dipercaya sebagai Sunan Kalijaga. Juga ada yang ditemui seorang wanita cantik yang diyakini sebagai Sekar Pembayun. “Percaya dan tidaknya itu monggo saja, karena hal itu memang sulit dibuktikan dengan rasional”, kilah Priyayi sepuh ini.
Itu semua tergantung bagaimana menyikapinya. Sebenarnya tempat seperti sendang dan sebagainya hanya sebagai tempat untuk lebih mendekatkan diri pada Allah swt. Hal yang utama adalah tetap harus percaya pada Allah. Sebagai manusia harus memiliki keterbukaan, jujur dan hidup secara “prasaja”. Dan yang penting bisa hidup berdampingan dengan alam disekitar kita, seperti apa yang dipesankan oleh Harjo Broto Sumantri di akhir pembicaraan. (febriyanto)













MISTERI BATU GILANG
Perebutan kekuasaan dan politik tidak hanya terjadi saat ini. Sebuah bukti sejarah dari tahun 1509, mampu menerangkan hal tersebut. Batu Gilang, yang dimuliakan di Ndalem, Kotagede, Purbayan. Batu gilang ini sebenarnya adalah singgasana Panembahan Senopati, Mataram. Hal itu seperti dikatakan oleh abdi dalem Kraton Yogyakarta, Hastino Darwinto yang mengabdi pada Kraton Yogyakarta sejak 1996.
"Awalnya dari penyerahan Tanah Kemerdekaan, Alas Mentaok dari Ki Ageng Mangir III, ...” Bp. Hastino Darwinto, abdi dalem sejak 1996 mendapat kehormatan sebagai jurukunci Batu Gilang, mulai mengurai sejarah. Kala itu, 1509, Panembahan Senopati mendapatkan tanah kekuasaan, warisan dari ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, Alas Mentaok. Namun seperti yang diketahui, wilayah tersebut sudah terlebih dahulu berada di tangan Ki Ageng Mangir III, yang masih mempunyai silsilah dari Kerajaan Majapahit. Panembahan Senopati kemudian menyuruh Ki Ageng Mangir untuk menyerahkan daerah tersebut agar menjadi tanah Mataram. Namun Ki Ageng Mangir III yang terkenal dengan pusakanya –Tombak Baru Minting- menolak. Ki Ageng Mangir merasa lebih dulu mempunyai hak atas wilayah tersebut dan ingin membangun kekuasaan sendiri.
Akibat dari sikap kukuh Ki Ageng Mangir itulah, akhir hayat Ki Ageng dihantar melalui tragedi batu gilang yang berada di bawah singgasana Panembahan Senopati, meski melalui jalan asmara terlebih dahulu. Batu gilang itu tak lain adalah yang sekarang ini dijaganya sebagai juru kunci Kraton Yogyakarta. Batu Gilang sekarang masih terawat baik. karena sudah dimuliakan oleh Sultan H.B. VIII, bersamaan dengan pembangunan Hasto Renggo (makam trah raja Mataram).
Anehnya, .seperti diungkapkan oleh Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa dalam bukunya “Kota Gede” batu gilang di Kota Gede ini memuat ungkapan berbahasa asing dalam empat bahasa (bahasa Latin : ITA MOVETUR MUNDUS, Perancis : AINSI VALE MONDE, belanda : ZOOGAAT DE WERELD dan Italia : COSI VAN IL MONDE). Ungkapan lain dalam bahasa Latin : AD AETERNAM MEMORIAM SORTIS INFELICIS yang diterjemahkan : untuk memperingati nasib yang kurang baik. Dan ungkapan : IN FORTUNA CONSURTES DIGNI VALETE, QUID STUPEARIS AINSI, VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMITE VOS CONSTEMTU VERE DIGNI :
Dan In Gloriam Maximam (Untuk Kemuliaan yang sangat tinggi)
Sementara itu di Desa Mangir sendiri juga dikenal legenda riwayat batu gilang. Batu gilang ini menurut cerita penduduk, merupakan bukti sejarah tentang keberadaan padepokan Ki Ageng Wanabaya. Sehingga ketika orang menanyakan dimanakah letak padepokan Ki Ageng Wanabaya di mangir, orang dapat mengetahui dengan menyaksikan batu gilang. Batu itu hitam, berbentuk persegi empat berukuran kira-kira 1x1 m. Di atas batu gilang ini ini dipercaya sebagai dhampar / singgasana. Subakri sebagai juru kunci Batu Gilang tersebut menuturkan bahwa di tempat tersebut dahulu pernah berdiri sebuah Keraton Mangir. “Petilasan tersebut sebagai bukti tempat ini adalah rumah Ki Ageng Mangir” tambahnya.
Tetapi ada juga yang percaya sebagai tempat menyimpan pusaka

Batu Gilang Gilangharjo

Ganjuran adalah kawasan yang merupakan bagian dari Alas Mentaok. Keberadaannya tidak terpisahkan dengan suatu wilayah yang dalam Babad Tanah Jawa dikenal dengan nama Lipura. Di Lipura inilah Panembahan Senopati pernah melakukan laku spiritual dan mendapatkan wisik untuk mendirikan pusat Keraton Mataram. Tempat Panembahan Senopati teteki ini sekarang terkenal dengan peninggalannya yang berupa batu berbentuk kotak yang sering disebut Watu Gilang. Letak Watu Gilang ini berada di Dusun Janggan, Gilangharjo, Bambanglipuro, Bantul.
Semula Panembahan Senopati pernah punya niat mendirikan pusat pemerintahan Keraton Mataram di tempat dia teteki. Akan tetapi letak dusun Janggan ini tidak terlalu jauh dengan wilayah Mangir. Oleh karena itu Ki Ageng Pemanahan menasihati Panembahan Senopati agar jangan mendirikan keraton di Gilangharjo.
Jika hal ini dilakukan, maka Panembahan Senopati akan selalu berhadapan dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Sekalipun Panembahan Senopati memiliki senjata sakti berupa tombak bernama Kyai Ageng Pleret, tetapi Ki Ageng Mangir pun memiliki senjata sakti yang juga berupa tombak bernama Kyai Baruklinting.
Sedigdaya apa pun orang, tidak akan kuat menerima tusukan tombak Kyai Baruklinting. Demikian Sunan Kalijaga dalam Babad Mangir pernah menyatakan hal tersebut. Untuk itulah Panembahan Senopati mengurungkan niatnya untuk mendirikan keraton di wilayah ini. Dengan demikian Kyai Pleret batal berhadapan dengan Kyai Barklinting (Untung/Febrianto/ Tia setiyani / Theresia Karninda)

AJA EWA MARANG KALUWIHANING LIYAN

Arti yang tersurat :
Jangan merasa tidak senang terhadap kelebihan orang lain. Aja : jangan, Ewa : merasa, Kaluwuhaning : kelebihan, Liyan: orang lain.

Arti yang tersirat:
Jangan merasa tersaingi atau bersikap tidak senang terhadap kelebihan orang lain. Dengki terhadap kelebihan orang lain menjurus pada sikap sirik. Sikap ini bisa menciptakan suasana permusuhan dan dapat merugikan diri sendiri.

Nilai yang terkandung :
Ungkapan ini mengandung ajaran atau nasihat bahwa seseorang harus bercermin pada dirinya sendiri atau intropeksi kemampuan yang ada padanya. Seseorang tidak perlu merasa cemburu atau bersikap dengki terhadap kelebihan orang lain. Sikap yang demikian adalah sikap buruk dan tak terpuji.
Hidup bermasyarakat dan kekurangannya masing-masing. Karena itulah kelebihan orang lain harus diakui sebagai karunia Alloh.

Latar belakang Sejarah :
Orang Jawa berpegang pada prinsip hidup bahwa manusia ini pada dasarnya adalah lemah. Di balik kelemahan itu ada kelebihan yang berbeda satu sama lain. Sebagai makhluk social, satu sama lain saling mengisi yang lebih memberikan kepada yang lemah dan yang lemah mendukung agar kelebihan orang lain itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Gotong royong diisi dengan saling bantu membantu dan bahu membahu sehingga yang lemah tidak tertindas dan yang kuat bersikap bijak.

Ungkapan lain yang ada hubungannya :
Aja Ngewak-ewakake (jangan bersikap atau bertingkah laku merugikan orang lain). (Ki Aji Bawono).

Monday, May 7, 2007

SEMINAR SEHARI DI BANTUL

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua,

Para Tamu Undangan yang kami hormati . . .,

Sebelumnya kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginya, atas waktu yang telah Bapak/Ibu luangkan untuk menghadiri pertemuan ini. Sungguh kami sadari, undangan ini demikian mendadak sehingga tentu saja mengacaukan agenda kegiatan Bapak/Ibu.
Namun kami yakin, keprihatinan dan kepedulian kita terhadap persoalan yang dihadapi bangsa ini, akan mampu menyisihkan waktu dan kepentingan lainnya.
Syukur alhamdulillah, Yang Mahakuasa pun berkenan mengizinkan kita bertemu dan berkumpul di sini, pada hari ini.

Banyak yang menyesalkan, mengapa undangan mendadak sekali sehingga para tokoh tidak dapat hadir di tengah–tengah kita. Memang kita berharap, tapi informasi dan waktu juga yang menjadi kendala. Untuk itu, kami mohon maaf atas lambatnya undangan yang kami sampaikan.
Pada kesempatan ini pula, kami mohon maaf kepada pihak-pihak yang seharusnya pantas dan layak hadir di sini, namun terlewat dari undangan kami. Bukan maksud kami sengaja mengabaikan, tetapi semata-mata karena keterbatasan informasi yang kami miliki.

Hadirin yang kami muliakan . . .,

Keprihatinan bersama atas kondisi bangsa Indonesia saat ini, telah menumbuhkan kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa untuk bangkit dari keterpurukan, lepas dari bayang-bayang perpecahan.

Namun dari mana kita akan memulai?
Apa langkah awal yang harus ditempuh?
Lepas dari keberhasilan atau kegagalannya, berbagai jalan telah kita upayakan.

Di bidang kebudayaan, misalnya, kita saksikan kegairahan masyarakat dalam mengekspresikan adat-istiadat dan tradisi lokal mereka. Dari berbagai latar belakang budaya, yang sifatnya lokal-kedaerahan, masing-masing tampil dengan segala pernak-pernik keindahan dan keanggunannya.
Suatu pemandangan yang selama tiga dekade sebelumnya nyaris mustahil kita jumpai.
Semua itu menyadarkan kita, bahwa Adat dan Budaya adalah akar Bangsa yang mesti kita junjung tinggi, kita banggakan, dan kita lestarikan.

Tegakah kita melihat, membiarkan Adat dan Budaya kita tercabik-cabik oleh budaya luar?
Mari kita renungkan adat ketimuran yang hampir luntur. Pergaulan bebas, budaya luar, obat terlarang, minuman keras telah meraja-lela merasuki Anak Bangsa.

Sementara itu, pada saat bersamaan masih kita saksikan kekerasan di mana-mana. Konflik antar-kelompok di masyarakat, pemaksaan kehendak dengan dalih menegakkan kebenaran dan keadilan, masih saja terjadi.
Juga musibah bencana alam yang beruntun menimpa saudara-saudara kita di berbagai pelosok negeri tercinta, menambah deretan kepedihan kita. Seolah bangsa ini belum akan lepas dari derita berkepanjangan.

Sudah menjadi watak manusia, baik ketika mendapat kedudukan atau tidak, selalu merasa kurang puas dan kecewa hatinya.
Sifat angkara murka masih berkuasa.

Semua itu adalah kesalahan sendiri, karena tidak melihat musimnya. Bila kita perhatikan dengan pandangan mata batin, sungguh aneh ulah manusia. Yang jujur, yang dusta hatinya, dapat diketahui dari satu firasat – dari namik. Namun tidak setiap orang mampu, kecuali yang telah terbuka untuk dunia gaib. Paham terhadap rasa, serta ingat akan safi’i di masa lalu, tetapi lebih rumit ceritanya, budi pekertinya telah tampak pada zaman lain. Banyak orang memahami bahasa dan kehidupan bangsa lain, hingga tidak memahami dan menguasai bahasa sendiri. Adat ketimuran hampir punah karena pengaruh bangsa lain.

Kebudayaan adalah inti yang harus diambil agar dapat menambah budi yang kuat. Mari kita pertimbangkan bersama demi kebaikan. Aturlah rakyat dengan baik, yang mengolah bumi, yang dapat dijadikan tanda atau tengara ‘gemah ripah loh jinawi’. Keutamaan laku dalam memimpin negeri atau bangsa harus tahu kewajibannya, berwibawa tutur katanya—Sabda pandhita ratu. Lakukan napak tilas moyang kita, jangan lupakan tradisi dan adat kebudayaan kita.

Contohnya, semua jiwa sentana Mataram harus kembali pada jati dirinya sebagai ‘orang Jawa’. Harus mau hidup rukun dengan sesama, terutama dengan trah Mataram itu sendiri. Harus tahu peran dan fungsinya sebagai ‘trahing kusuma – rembesing madu’. Baik kebetulan diri sebagai pejabat atau raja, atau mungkin rakyat biasa. Namun kita harus sadar, pendiri Mataram yang akan datang sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk Mataram di masa depan atau “Mataram Binangun”.

Bumi Nusantara kemungkinan masih akan terus-menerus kacau, penuh dengan pertentangan. Ujian pun akan semakin berat, kecuali Mataram Binangun terwujud sesuai dengan keinginan moyang kita. Sudah saatnya, kita mulai menyambung benang merah yang hampir putus, mengumpulkan tulang berserakan.


□ □ □

Hadirin sekalian . . .,

Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, kami memberanikan diri mengetengahkan gagasan RUWAT BUMI PERTIWI ini sebagai langkah awal. Sebagai batu pijak untuk membuka simpul keruwetan yang kita hadapi.

Kami akui, ide ini tidak sepenuhnya berasal dari kami sendiri.
Sekadar contoh, kami merasa terilhami gagasan seorang tokoh, maaf tak perlu kami sebut siapa, yang pernah melontarkan wacana “tobat nasional” menjelang masa reformasi, hampir sepuluh tahun lalu.
Sayang sekali, gagasan arif yang oleh pencetusnya dimaksudkan sebagai wacana menuju rekonsiliasi nasional itu mendapat tanggapan dan reaksi yang kurang proporsional. Kita lebih mempersoalkan istilah, ketimbang makna.

Kembali pada RUWAT BUMI PERTIWI, kami maksudkan sebagai langkah awal memaknai kembali pandangan (atau persepsi) dan perlakuan kita pada bumi dan segala isinya, sebagai bentuk tanggung jawab atas amanah yang telah kita terima.
Makmurkan bumi tempat kita berpijak, dan jangan buat kerusakan di atasnya.
Sudahkah kita renungkan, bahwa selama ini perbuatan kita masih jauh dari pesan yang terkandung dalam amanah tersebut?
Seperti terkandung dalam tema Ruwat Bumi Pertiwi ini,

REKONSILIASI NASIONAL MELALUI BUDAYA:
mamasuh malaning bumi – mangasah mingising budi

yang secara harfiah berarti

membasuh lukanya bumi – mengasah tajamnya budi.

Kita bersihkan bumi pertiwi dari noda dan luka yang kita buat—seraya melunakkan budi dan pekerti kita yang masih diwarnai kebengisan dan kekejaman.

Namun sudah selayaknya kita sadari. Sebagai manusia biasa, tanpa izin Sang Pencipta, mana mungkin kita mampu meruwat Bumi Pertiwi ini. Hanya pertolongan dan kemurahanNya jua yang menjadi sandaran kita.

Maka mari kita bersatu dan bergandeng tangan, tanpa meman-dang Ras – Agama dan Golongan, untuk berdoa bersama memohon ampunan atas dosa dan kesalahan, baik sengaja maupun tidak. Semoga Allah SWT mencurahkan kasih-NYA terhadap kita semua sehingga bumi ini aman. Terhindar dari segala bala’ dan bencana, kekacauan dan keangkara-murkaan. Kita bersihkan mental spiritual kita.

Sebagai supranatural, kami mohon kesediaan semua yang hadir maupun belum dapat hadir, untuk membantu kami turut prihatin mewujudkan cita–cita kita melalui Ruwat Bumi Pertiwi ini. Kepada kalangan spiritualis, mari kita berpegang pada kebenaran dan kejujuran.

Hadirin yang kami muliakan . . .,

Perjalanan kami belumlah apa–apa, dan jujur saja sebagai pencetus acara ini, kami masih mempunyai banyak kekurangan dan membutuhkan sumbang saran serta nasehat untuk langkah selanjutnya. Mustahil kami dapat melaksanakan ini semua dalam kesendirian. Maka kami mohon keikhlasan, ketulusan dan waktu pada Bapak/Ibu, juga para Tokoh yang tidak dapat hadir dalam Seminar ini, untuk bersama-sama membawa acara ini sampai titik yang kita harapkan.

Akhir kata, kami hanya bisa mengantar acara ini dengan penuh harap pada rasa kebersamaan dan kepedulian kita. Semoga langkah awal kita pada hari ini mendapat bimbingan dan kekuatan dari Yang Mahakuasa. Amin.

Billahit taufiq wal hidayah
Wal hamdulillahi rabbil ‘alaminWassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.