Saturday, May 5, 2007

BEDOYO SONGGO BUWONO

MALAM indah penuh cahaya bulan purnama di Pantai Prangkusumo. Seakan malam ingin mencapai kesempurnaan dalam pujian alam. Angin pun berhembus perlahan dari arah selatan. Tiupannya menyebarkan udara segar sore hari berkat hujan yang mengguyur wilayah Bantul- Yogyakarta. Segala tanaman menggeliat perlahan menggerak-gerakkan tangkai dan daun-daunnya. Tampaknya malam di Parangkusumo mendekati sempurna saat sembilan putri jelita menabur keindahan melalui tari, tari Bedoyo Songgo Buwono. Alam menari bersama umat manusia yang hadir dalam ritual tradisi yang diselenggarakan Sanggar Supranatural Songgo Buwono. Malam itu ternyata menjadi malam yang sempurna dikala umat manusia berdoa. Doa itulah yang menyempurnakan malam bulan penuh cahaya purnama Mulai dari rakyat jelata yang keseharian sulit mendapatkan rejeki, wanita-wanita dan lelaki nakal, tokoh-tokoh supranatural, para pujangga perguruan tinggi sampai Sunan dari Surakarta, hening bersama dan berdoa.
Doa itu juga dibawa dalam Bedoyo Songgo Buwono. Bedoyo lalu menjadi ungkapan batin umat manusia yang memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa demi keharmonisan, ketenteraman dan keselamatan. Diawali gendhing Lir-ilir Panuwun, Bedoyo Songgo Buwono merambat pelan dan halus dalam formasi simbol tubuh manusia "Marilah bangkit dari segala duka dan bencana. Sebagai orang yang beriman, menghadapi duka dan kesusahan tidak cukup meratap, tetapi berupaya sambil berdoa," kata Ny. Lia Hermin Putri yang menyelenggarakan Bedoyo Songgo Buwono sebagai pimpinan Sanggar Supranatural Songgo Buwono.
Sayup-sayup, gelora ombak pantai Selatan di Parangkusumo terdengar dari panggung Bedoyo Songgo Buwono. Suara alam menyatu dengan gendhing Ngesti Laras garapan Drs. Trusto yang mengiringi Bedoyo. Sembilan penari putri juga mengikuti nyanyian alam dalam gendhing. Formasi mendambakan keharmonisan, keseimbangan berkembang. Formasi kedua menunjukkan bahwa dua hal yang berbeda itu bisa menjadi kekuatan ketika bersatu tetapi bisa menjadi pertempuran atau konflik jika tidak ada keselarasan.
Gerak halus tangan-tangan indah disertai liuk tubuh sembilan penari yang memancarkan kehalusan budi dan pekerti diiringi Ladrang Eling-eling, Bedoyo Songgo Buwono membawa suasana pada ingatan manusia kepada para teladan Bangsa, seperti Panembahan Senopati, tokoh legendaris dari Kerajaan Mataram. "Manusia diajak untuk eling atau ingat akan segala perbuatan kita sebagai manusia ciptaan yang tidak lepas dari segala musibah yang sekarang ini menimpa bangsa Indonesia. Ingat akan sesama, ingat akan alam dan ingat akan Tuhan.” tutur Trusto yang juga dosen ISI jurusan Karawitan.
Sementara dari Bedoyo Songgo Buwono, manusia diajak merenungkan akan tujuan yang hendak dicapai dan direnungkan dalam sebuah doa, yaitu Manunggaling Kawulo lan Gusti. Ada kesatuan yang lebur jadi satu antara Kawulo dan Gusti dalam doa. Demikian dikatakan Jiyu Wijayanti, koreografer tari Bedoyo Songgo Buwono.
Akhirnya, tembang atau gendhing Eling-eling dituntaskan dengan Sinom Tuladha bersamaan dengan terbentuknya formasi rakit lajur dari Bedoyo Songgo Buwono. "Harmonisasi, keseimbangan antara manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam semesta dan akhirnya keseimbangan antara manusia dengan Penciptanya. Di sisi lain kita diajak meneladani para tokob-tokoh leluhur Bangsa dan Negara ini yang begitu mencintai Bangsa dan Negaranya dalam berbagai keragaman," tarmbah Lia Hermin Putri.
Bersamaan itu terdengarlah syair-syair Sinom Tuladha :" Nuladha laku utomo; tumrapeng wong Tanah Jawi; Wong Agung ing Ngeksigondo, Panembahan Senopati; Kepati amarsudi; Sudane hawa lan nepsu; Pinesu tapa brata; tan nepi ing siang ratri, Amemangun Karyek nak tyas ing sesami." Sementara itu Bedoyo Songgo Buwono pun berpesan :"Harmonisasi"

No comments: