Saturday, May 19, 2007

Melacak wayang-wayang keramat

KUNCUNGNYA telah lepas dari kepalanya. Bajunya lusuh, seakan terdapat sobekan di sana sini. Tetapi wajahnya tetap menunjukkan keceriaannya. Meski wajahnya tergolong jelek, tetapi setiap orang suka menatapnya. Badannya pendek, gemuk yang melengkapi kejelekan wajah tidak sedikitpun menggoyahkan hati orang untuk selalu mendekatinya. Dia selalu menjadi bahan pembicaraan, bahkan tokoh panutan. Kesukaannya merendahkan hati, tetapi di hati orang justru sering disanjungnya. Pendiriannya adalah mengutamakn dan menegakkan keadilan. Itulah sebabnya banytak yang yang mengatakan, perutnya yang buncit itu sebenarnya penuh kebijaksanaan, hatinya penuh kesabaran sesuai jalannya yang pelan-pelan. Hidupnya sepanjang jaman seakan mengikuti hidup manusia. Namanya banyak, karena setiap nama adalah cermin wataknya yang penuh kesederhanaan. Itulah tokoh Semar yang gambarannya terukir dalam kulit berbentuk wayang kulit. Semar juga disebut Ismaya, juga disebut Bogasampir, Nayantaka.
Saat menyebut nama tokoh Semar, orang tidak asing lagi mendengarnya. Bahkan melihat gambarnya saja, banyak orang tahu bahwa bentuk semar itu adalah itu, bukan yang lainnya. Meski dalam banyak versi, tetapi orang akan mudah mengenal bahwa dialah Semar.
Di sebuah desa kecil di Kabupaten Temanggung, persisnya di Dusun Kaliampu, Desa Kebumen, Kecamatan Secang, terdapat wayang kulit Semar yang sangat unik dan berbeda dari biasanya gambaran tokoh Semar dalam wayang kulit.
Semar ini terasa sangat keramat dan wingit. Selain karena pakaiannya yang kelihatan lusuh lantaran tak pernah disungging (dicat) kembali, Semar yang dimiliki keluarga Ny. Jemblok yang kini telah berusia 100 tahun lebih ini memiliki rantai panjang yang diikatkan pada mulut dan pada bagian perutnya. Pada mulutnya juga diikatkan sebilah tangkai dari gading penyu untuk menggerakkan mulutnya saat dia berbicara.
Tokoh wayang kulit yang bernama Semar ini tidak sendirian. Dia ditemani empat wayang kulit yang tampaknya berusia sama tuanya, karena keadaannya yang sama-sama kelihatan lusuh. Wayang yang lainnya itu adalah tokoh Kresna, Harjuna, Sembadra dan Begawan Ciptaning.
Anehnya kelima wayang kulit yang berwajah lusuh itu tidak pernah dipentaskan dalam pagelaran wayang kulit oleh kelima cucu Mbah jemblok yang semuanya adalah dalang. Cucu Mbah jemblok itu adalah : Kabul, Gampang, Teguh, Juariah dan Kahono. Ternyata para cucu Mbah Jemblok ini tidak berani memainkan kelima wayang kulit ini, karena wayang-wayang itu adalah wayang yang digunakan khusus untuk ruwatan.
Ketika disaksikan dengan seksama oleh pecinta budaya spiritual, Ki Haryo, wayang kulit dengan tokoh Semar dan Sembadra tersebut memang memiliki sifat rohaniah. Sifat rohaniah itu terjadi lantaran di dalam wayang kulit Semar dan Sembadra ini bersemayam roh leluhur yang dahulu ketika masih hidup di dunia memiliki pekerjaan sebagai tokoh spiritual. Tokoh yang berada di dalam wayang Semar mengaku bernama Ki Ageng Kumara, sedangkan yang berada di wayang Sembadra bernama Nini Wulan Kesuma.
Keduanya memiliki perbedaan kesukaan sesaji. Ki Ageng Kumara menghendaki sirih kinang dan temabakau susur serta jenang merah dengan juruhnya. Sedangkan Nini Wulan Kusuma hanya menghendaki nasi kuning. Kesemua bentuk sesaji itu adalah symbol yang dapat dijadikan pegangan manusia dalam melaksanakan hidup baik di dunia.
Semenara untuk tokoh-tokoh lainnya seperti tokoh Kresna, Harjuna dan Begawan Ciptaning, Ki Haryo belum bersedia melihat lebih dalam tentang ada tidaknya roh leluhur yang bersemayam di dalamnya.

Keluarga Dalang

Keluarga besar Mbah Jemblok adalah keluarga dalang. Ayahnya, Ki Gondosujud dan kakek Mbah Jemblok yang terkenal dengan Karyo Pakis adalah dalang terkenal di jamannya yang kini telah meninggal dunia. Saudara Ki Gondosujud, ayah Mbak Jemblok juga dalang bernama Ki Cermodiguno. Ki Cermodiguno inipun juga keluarga besar dalang karena anaknya, Ki Hadi Susanto adalah juga dalang terkenal di daerah Kedu. Dua anak laki-laki Ki Hadi Susanto, yaitu Hendri dan bayu juga dalang.
Menurut kesaksian Ki Hadi Susanto, wayang-wayang kulit yang dianggap keramat itu dahulu digunakan oleh orang tuanya khusus untuk melakukan upacara tradisional yang disebut ruwatan. Untuk melakukan ruwatan, tidak semua dalang bisa melaksanakan kecuali telah memiliki syarat-sayarat khusus. Jika syarat-syarat itu belum dipenuhi seorang dalang tidak akan berani melaksanakan ruwatan. Itulah sebabnya wayang-wayang itu dianggap keramat. Bahkan memperbaiki wayang-wayang keramat itu para dalang tidak berani melakukan sebelum ada orang yang mampu memberikan petunjuk kesejatiannya. “Karena itu menyangkut ras hormat kita pada leluhur yang dahulu membuat wayang itu. Para leluhur dahulu kalau membuat wayang dengan kesungguhan dan ada tujuannya. Bahkan diikuti dengan puasa dan mati raga. Oleh karenanya kami tidak berani kalau terkena walat atau tuahnya,” tutur Ki Hadi Susanto.

1 comment:

PAK EKO DI MAJALENGKA said...

Syukur Alhamdulillah di tahun ini Saya mendapatkan Rezeki yg berlimpah sebab sudah hampir 9 Tahun Saya bekerja di (MALEYSIA) tdk pernah menikmati hasil jeripaya saya karna Hutang keluarga Sangatlah banyak namun Akhirnya, saya bisa terlepas dari masalah Hutang Baik di bank maupun sama bos saya di Tahun yg penuh berkah ini,
Dan sekarang saya bisa pulang ke Indonesia dgn membawakan Modal buat Keluarga supaya usaha kami bisa di lanjutkan lagi,dan tak lupa saya ucapkan Terimah kasih banyak kepada SHOLEH PATY karna Beliaulah yg tlah memberikan bantuan kepada kami melalui bantuan Nomor Togel jadi sayapun berhasil menang di pemasangan Nomor di TOTO MAGNUM dan menang banyak
Jadi,Bagi Teman yg ada di group ini yg mempunyai masalah silahkan minta bantuan Sama KI SHOLEH PATY dgn cara tlp di Nomor ;0825-244-669-169 percaya ataupun tdk itu tergantung sama anda Namun inilah kisa nyata saya